Liputan6.com, Jakarta Pakar hukum pidana, Muzakir, mengusulkan peningkatan peran lembaga prapenuntutan untuk memperluas koordinasi antara kejaksaan dan kepolisian. Menurutnya, tanpa perluasan ini, jaksa akan mengalami kesulitan dalam pembuktian di pengadilan.
Pernyataan ini disampaikan Muzakir terkait revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya dalam kaitannya dengan asas dominus litis dan differensiasi fungsional. Ia menekankan bahwa dalam tahap prapenuntutan, dialog antara polisi dan jaksa harus mencakup lebih dari sekadar berkas perkara.
Baca Juga
“Jadi (hal yang diterima jaksa, Red) tidak hanya berkas saja tapi juga aksi di lapangan. Sinergitas mereka ada di penyidikan yang sudah dilaporkan kepada jaksa,” ujar Muzakir.
Advertisement
Lebih lanjut, Muzakir menegaskan jaksa perlu turun langsung ke lapangan agar memahami kasus secara menyeluruh. Ia mengingatkan bahwa jaksa yang hanya bekerja dari balik meja tanpa melihat langsung kondisi di lapangan tidak akan mampu mendalami perkara secara adil.
"Mereka harus tahu kondisinya seperti apa, keluarganya seperti apa. Bagaimana bisa tahu kalau hanya melihat berkasnya, fotonya?” papar Muzakir. Jika jaksa tidak memahami perkara secara mendalam, ia mempertanyakan bagaimana jaksa bisa melakukan penuntutan dengan adil.
Muzakir juga menambahkan bahwa dalam prapenuntutan, jaksa harus mendapatkan pemberitahuan sejak awal ketika penyidikan dimulai, terutama dalam kasus-kasus penting yang membutuhkan perhatian lebih dari jaksa.
"Contohnya dalam kasus perkosaan, jaksa harus memahami dampak terhadap korban. Seorang penegak hukum harus tahu jiwa dari perkara itu. Dan ini bisa dipahami kalau terjun ke lapangan,” tegas dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) itu.
Selain itu, menurut Muzakir, keterlibatan jaksa sejak tahap awal juga akan membantu polisi dalam mengumpulkan bukti yang diperlukan untuk memperkuat kasus. “Tidak harus formil, dikirim-balik-dikirim-balik (berkas P18, P19 dari penyidik Polri ke kejaksaan, Red),” ujar Muzakir.
Perubahan dari HIR ke KUHAPDalam penjelasannya, Muzakir menyoroti perbedaan antara sistem hukum yang berlaku pada masa penggunaan Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dan setelah berlakunya KUHAP pada 1981. Saat masih menggunakan HIR, jaksa memiliki kendali penuh atas perkara, karena jaksa berperan sebagai penyidik sekaligus penuntut umum.
"Kepolisian pada saat itu diperankan sebagai pembantu jaksa dalam melakukan penyidikan. Maka saat itu asas yang berlaku adalah dominus litis,” jelasnya.
Namun, pada masa pemerintahan Soeharto, rancangan KUHAP mengubah sistem tersebut, menetapkan bahwa penyelidikan dan penyidikan menjadi kewenangan Polri, sementara kejaksaan berperan sebagai penuntut umum.
“Sejak itu, KUHAP tidak lagi dominus litis karena jaksa tidak lagi sebagai pengendali perkara, sebab asas yang berlaku adalah differensiasi fungsional, yaitu pemisahan secara fungsional antara jaksa dan polisi,” tambah Muzakir.
Menurutnya, sistem ini membuat peran jaksa lebih terbatas pada membaca berkas perkara tanpa keterlibatan langsung dalam penyidikan. “Tentu ini ada kekurangan dan kelebihannya,” katanya.
Saat ini, dalam revisi UU KUHAP, ada wacana untuk mengembalikan asas dominus litis agar jaksa kembali memiliki kendali lebih besar dalam proses hukum.
Mungkinkan Jaksa Punya Kewenangan Besar
Muzakir menilai bahwa penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan merupakan satu rangkaian kebijakan yang berada di bawah kendali eksekutif.
"Yang menjadi permasalahan adalah eksekutif itu di bawah presiden, kejaksaan, atau kepolisian,” ungkapnya.
Hingga kini, kebijakan penyidikan tetap berada di kepolisian, sementara penuntutan di kejaksaan. Hal ini memungkinkan kepolisian untuk menyelesaikan perkara tanpa harus membawanya ke pengadilan.
"Kalau sudah tahapan penuntutan, jaksa sesungguhnya sudah tidak punya kewenangan lagi. Tetapi, jaksa masih memiliki kewenangan untuk menghentikan penuntutan jika kasus yang dituntut memiliki dampak negatif,” jelas Muzakir.
Jika sistem kembali ke dominus litis, jaksa akan memiliki kewenangan lebih besar, termasuk dalam tahap penyidikan yang sebelumnya menjadi domain kepolisian.
"Pertanyaan yang sering diajukan, kalau polisi sudah siap semuanya atau P21, apakah kejaksaan bisa menghentikan penyidikan, menghentikan penuntutan?” tanyanya.
Sebaliknya, Muzakir juga mempertanyakan apakah jaksa bisa mengajukan praperadilan jika ada Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) yang dihentikan oleh polisi. Hal ini, menurutnya, menjadi salah satu aspek yang harus dipertimbangkan dalam revisi UU KUHAP.
Advertisement
