Liputan6.com, Jakarta Kasus pelecehan seksual yang diduga dilakukan mantan Rektor Universitas Pancasila, Edie Toet Hendratno, dinilai banyak kejanggalan.
Penasihat hukum korban meminta Divisi Propam Mabes Polri turut mengawasi proses penyidikan kasus dugaan pelecehan seksual yang saat ini berjalan di Polda Metro Jaya.
Baca Juga
Bukan tanpa sebab, mereka menilai telah terjadi pelanggaran prosedur hukum acara, termasuk penerbitan dua Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dalam satu perkara yang sama.
Advertisement
Hal itu diungkap Yansen Ohoirat, penasihat hukum dari dua korban berinisial RZ dan DF, usai mendatangi Divisi Propam Mabes Polri pada Rabu (16/4/2025).
"Hari ini menindaklanjuti dari laporan atau aduan kita 9 April kemarin. Bahwa kami sudah ke Kompolnas dan juga Bidang Propam Polda Metro Jaya. Bahwa di 9 April itu, kami sudah memberikan, dan tanggal 10 April ke Kejati DKI. Kita penelusuran berkas lah istilahnya, bahwa di situ kami temukan ada kejanggalan yang memang disinformasi dengan kita sebagai kuasa selaku korban," kata Yansen Ohoirat kepada wartawan.
Menurut Yansen, timnya mendapati dua SPDP yang berbeda untuk satu tersangka dalam satu perkara yang sama. Padahal, selama ini pihaknya hanya menerima informasi mengenai satu SPDP.
"Artinya sudah tidak sesuai dengan kode etik hukum acaranya. Di sini kita menemui ada syarat-syarat formil yang sudah dilanggar oleh penyidik Polda, seperti itu," ujar Yansen.
Tak hanya soal jumlah SPDP, kuasa hukum juga menyoroti lambannya penyampaian dokumen tersebut. Berdasarkan hukum acara pidana, SPDP seharusnya dikirimkan ke kejaksaan dan pihak pelapor paling lambat tujuh hari setelah surat perintah penyidikan (sprindik) diterbitkan.
Namun dalam kasus ini, sprindik tertanggal 14 Juni 2024, sementara SPDP baru diterima pelapor pada 26 Juli 2024.
Â
Pengacara Korban Nilai Penyidik Tidak Profesional
Yansen juga menilai penyidik tidak profesional dalam menjalankan tugas. Mereka menyebut penyidik lebih sering berkomunikasi langsung dengan klien tanpa melalui penasihat hukum, meskipun dirinya telah ditunjuk secara resmi sebagai penasihat hukum.
"Yang menjadi pertanyaan kami apakah sekarang ini ada aturan bahwa penyidik harus menyerahkan dokumen ke pelapor langsung. Juga ada waktu itu kita menghadirkan saksi dari kita, penyidik tidak memberikan info. Bahkan saksi kita tidak didampingi kuasa hukum, dan itu merugikan kita. Apalagi korban sendiri akhirnya mempertanyakan kinerja dari penasihat hukum," ujar Yansen.
Selain itu, Yansen juga mempersoalkan proses pemeriksaan saksi yang dihadirkan oleh pihak pelapor tanpa pendampingan hukum. Mereka menilai hal ini sebagai bentuk pengabaian hak hukum yang sah.
"Atas hal itu kami minta Propam melakukan pengawasan terhadap laporan kami di Polda Metro Jaya, karena tingkatannya kan lebih tinggi. Kan secara profesional ketika ditangani Polda Metro Jaya itu jadi kewenangan, tapi kami minta untuk diawasi," ujar Yansen.
"Harapan kami ingin menarik persoalan ini di tengah-tengah agar penyidik tidak memihak ke kiri dan ke kanan. Tempatkan keadilan di posisi sebenarnya," ucap Yansen.
Â
Advertisement
Respons Edie Toet Usai Dinonaktifkan dari Rektor UP
Sebelumnya, Edie Toet Hendratno (ETH) buka suara terkait penonaktifannya sebagai Rektor Universitas Pancasila menyusul mencuatnya kasus dugaan pelecehan seksual terhadap dua orang bawahannya.
Menurut penasihat hukum ETH, Faizal Hafied, terbitnya surat keputusan (SK) penonaktifan kliennya sebagai rektor dinilai sangat merugikan. Faizal lalu menyinggung asas praduga tak bersalah.
"Untuk yang tadi disampaikan ada penonaktifan inilah yang kami anggap merugikan klien kami. Ada desakan-desakan dari pihak tertentu sampai bakar-bakaran di kampus sendiri mendesak untuk beliau dinonaktifkan," kata Faizal di Polda Metro Jaya, Kamis (29/2/2024).
Faizal menerangkan, kliennya belum terbukti melakukan pelecehan seksual menurut hukum. Sejauh ini pun baru sebatas dugaan.
"Jadi tidak ada satu pun bukti yang menyatakan apa yang disangkakan. Sampai saat ini tidak ada bukti apa pun yang nyata seperti apa yang disangkakan. Namun dengan adanya berita-berita negatif tersebut sehingga menyebabkan klien kami ini dirugikan dengan dilakukan penonaktifan kembali," ujar Faizal.
Sementara itu, Edie Toet Hendratno enggan menanggapi penonaktifan dirinya sebagai rektor. Dia mengaku telah menyerahkan penuh permasalahan ini kepada penasihat hukum. "Saya sudah titip serahkan ke kuasa hukum," kata Edie.
Anggota Yayasan dan Pendidikan Universitas Pancasila (YPPUP) menunjuk Prof Dr Sri Widyastuti, sebagai Plt Rektor Universitas Pancasila.
Sekretaris Yayasan Pendidikan dan Pembina Universitas Pancasila Yoga Satrio menerangkan, keputusan ini berdasarkan hasil Rapat Pleno Yayasan pada hari Senin, 26 Februari 2024.
"Dari rapat pleno tersebut, diputuskan bahwa YPPUP telah mengambil Keputusan untuk menonaktifkan Rektor per hari ini, Selasa 27 Februari 2024, dengan adanya keputusan tersebut YPPUP menunjuk Wakil Rektor I Prof Dr Sri Widyastuti, sebagai Plt Rektor," kata Yoga kepada wartawan, Selasa (27/2/2024).
