Tingginya biaya Pemilu membuat para politisi yang menang terpaksa memikirkan bagaimana uang yang sudah dikeluarkan bisa kembali. Salah satu cara cepat dengan korupsi pemangkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Namun, lain di pusat, lain di daerah. APBN jadi barang perahan untuk kembalikan modal, sedangkan daerah yang memiliki potensi alam. Sehingga, sumber daya alam itulah yang dijual.
Hal ini dilontarkan oleh Manager Advokasi Hukum dan Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Muhnur, korupsi juga sangat erat hubungannya dengan kejahatan lingkungan hidup. Pemerintah pemberi kewenangan, penegakan hukum, dan pengusaha sudah menjalin konspirasi besar untuk mengeksporasi lahan sebagai mahar politik.
"Permainan di kalangan pemerintah yang paling besar, izin usaha kehutanan di Riau ada 40 perusahaan. Modusnya mafia hutan memberi izin tak sesuai dengan usahanya. Belum lagi tata ruang yang nilainya cukup besar. Gratifikasi, perusahaan memberi fasilitas bagi pejabat. Misalnya, saat ke Jakarta pejabat pasti menginap di hotel bintang lima," ungkapnya saat diskusi politik di Akmani Hotel, Kamis (27/6/2013).
Di kalangan penegak hukum, kata dia, banyak yang membiarkan adanya pembalakan liar, upaya melindungi kejahatan di lingkungan, termasuk akses dan manipulasi informasi. Muhnur mengatakan, ada 200 warga yang menuntut transparansi terkait perizinan kegiatan lingkungan justru di kriminalisasi.
Penetapan kawasan pertambangan tak jauh berbeda nasibnya. Dia mencontohkan, tiba-tiba keluar izin untuk 800 hektar di wilayah Kalimantan yang dapat digarap. Padahal, belum ada peraturan pemerintah dan seharusnya izin pertambangan tidak ada. Belum lagi, luasa lahan dan hasil produksi yang juga dimanipulasi.
"0,2 Persen penduduk Indonesia menguasai lahan perkebunan dan pertambangan. 56 Persen pemiliknya memiliki kedekatan atau akses langsung ke penguasa di daerah. Bahkan, tak jarang perusahaan itu milik bupati atau ketua DPRD setempat," kata dia.
Hal ini kerap dijadikan deal-deal politik dikalangan elit di daerah. Muhnur mengatakan, saat mereka tidak memiliki cukup uang untuk beriklan di media massa, janji memberikan sebidang lahan pun jadi opsi para politisi.
"Kalau saya menang, nanti lahan yang didaerah sana buat perusahaan kamu. Itu yang dilakukan," ujarnya.
Namun, tak selamanya eksploitasi lahan dan APBD itu untuk kepentingan politik. Walhi menemukan beberapa daerah di kalimantan, bupati saat itu sudah tidak dapat menjabat lagi.
"Para kepala daerah mendirikan perusahaan, mengeluarkan izin untuk mengelola lahan, dan hasilnya bisa masuk ke kantongnya meski tidak menjabat lagi," kata Muhnur.
Muhmur mengungkapkan, jika para politisi sudah menyiapkan rencana untuk dapat mengumpulkan dana Pemilu sejak dua tahun sebelum penyelenggaraan, korupsi melalui kejahatan lahan justru dilakukan setiap hari dan dalam setiap kesempatan.
"Kami rasa perlu ada kesadaran politik bagi masyarakat. Dan untuk menganggulangi terus terjadinya korupsi dan kejahatan lingkungan hidup, perlu ada pemutusan relasi antara aktor dan penguasa politik serta penguasa politik dan sumber daya alam," tegas Muhnur. (Yog/Ndy)
Namun, lain di pusat, lain di daerah. APBN jadi barang perahan untuk kembalikan modal, sedangkan daerah yang memiliki potensi alam. Sehingga, sumber daya alam itulah yang dijual.
Hal ini dilontarkan oleh Manager Advokasi Hukum dan Kebijakan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Muhnur, korupsi juga sangat erat hubungannya dengan kejahatan lingkungan hidup. Pemerintah pemberi kewenangan, penegakan hukum, dan pengusaha sudah menjalin konspirasi besar untuk mengeksporasi lahan sebagai mahar politik.
"Permainan di kalangan pemerintah yang paling besar, izin usaha kehutanan di Riau ada 40 perusahaan. Modusnya mafia hutan memberi izin tak sesuai dengan usahanya. Belum lagi tata ruang yang nilainya cukup besar. Gratifikasi, perusahaan memberi fasilitas bagi pejabat. Misalnya, saat ke Jakarta pejabat pasti menginap di hotel bintang lima," ungkapnya saat diskusi politik di Akmani Hotel, Kamis (27/6/2013).
Di kalangan penegak hukum, kata dia, banyak yang membiarkan adanya pembalakan liar, upaya melindungi kejahatan di lingkungan, termasuk akses dan manipulasi informasi. Muhnur mengatakan, ada 200 warga yang menuntut transparansi terkait perizinan kegiatan lingkungan justru di kriminalisasi.
Penetapan kawasan pertambangan tak jauh berbeda nasibnya. Dia mencontohkan, tiba-tiba keluar izin untuk 800 hektar di wilayah Kalimantan yang dapat digarap. Padahal, belum ada peraturan pemerintah dan seharusnya izin pertambangan tidak ada. Belum lagi, luasa lahan dan hasil produksi yang juga dimanipulasi.
"0,2 Persen penduduk Indonesia menguasai lahan perkebunan dan pertambangan. 56 Persen pemiliknya memiliki kedekatan atau akses langsung ke penguasa di daerah. Bahkan, tak jarang perusahaan itu milik bupati atau ketua DPRD setempat," kata dia.
Hal ini kerap dijadikan deal-deal politik dikalangan elit di daerah. Muhnur mengatakan, saat mereka tidak memiliki cukup uang untuk beriklan di media massa, janji memberikan sebidang lahan pun jadi opsi para politisi.
"Kalau saya menang, nanti lahan yang didaerah sana buat perusahaan kamu. Itu yang dilakukan," ujarnya.
Namun, tak selamanya eksploitasi lahan dan APBD itu untuk kepentingan politik. Walhi menemukan beberapa daerah di kalimantan, bupati saat itu sudah tidak dapat menjabat lagi.
"Para kepala daerah mendirikan perusahaan, mengeluarkan izin untuk mengelola lahan, dan hasilnya bisa masuk ke kantongnya meski tidak menjabat lagi," kata Muhnur.
Muhmur mengungkapkan, jika para politisi sudah menyiapkan rencana untuk dapat mengumpulkan dana Pemilu sejak dua tahun sebelum penyelenggaraan, korupsi melalui kejahatan lahan justru dilakukan setiap hari dan dalam setiap kesempatan.
"Kami rasa perlu ada kesadaran politik bagi masyarakat. Dan untuk menganggulangi terus terjadinya korupsi dan kejahatan lingkungan hidup, perlu ada pemutusan relasi antara aktor dan penguasa politik serta penguasa politik dan sumber daya alam," tegas Muhnur. (Yog/Ndy)