Dilema PP 99, Antara Berantas Korupsi dengan Remisi Koruptor

Menurut Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Tohari, dalam surat edaran Menkumham itu bertentangan secara diametral.

oleh Liputan6 diperbarui 15 Jul 2013, 19:03 WIB
Diterbitkan 15 Jul 2013, 19:03 WIB
hajriyanto-tohari130108b.jpg
Wakil Ketua MPR Hajriyanto Y Tohari berpendapat tentang polemik PP 99/2012 mengenai remisi. Menurutnya, Surat Edaran (SE) Menkumham itu bertentangan secara diametral. Sedangkan PP 99/2012 itu berisi bersemangat antikorupsi secara kategoris. Sementara SE Menkumham itu bersemangat kompromi dan belas kasihan.

"Pemerintah terjebak pada dilema klasik antara menegakkan semangat antikorupsi dan tekanan memberikan remisi kepada pelaku korupsi," kata Hajriyanto di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/7/2013).

Menurut dia, tampaknya pemerintah tak bisa keluar dari dilema yang ironisnya dibuat sendiri. Dia menilai UU yang mengatur remisi itu dibuat pemerintah bersama DPR. "Artinya, porsi pemerintah dalam pembentukan UU ini 50 persen," ujar dia.

Kemudian, lanjut dia, PP 99/2012 yang anti remisi itu dibuat penuh 100 persen oleh pemerintah. "Namanya juga Peraturan Pemerintah tentu dibuat pemerintah sepenuhnya," kata dia.

Dan berikutnya, dalam SE Menkumham tersebut dibuat oleh pihaknya sendiri. "Walhasil, pemerintah telah terjerat dalam jaring-jaring hukum yang ditenunnya sendiri. Ini semua akibat dari sikapnya yang mediocare dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi," tegas Hajriyanto.

Menurut dia, mestinya surat edaran itu tidak pernah dikeluarkan selama PP 99/2012 masih berlaku. Jika pada dasarnya pertimbangan surat itu adalah PP 99/2012 sekarang ini sedang digugat ke MA, tetap saja surat itu tak boleh dikeluarkan karena memang bertentangan dengan PP yang pada hakekatnya dibuatnya sendiri oleh pemerintah.

"Masak ada surat edaran menteri yang substansinya tidak sejalan dengan PP?" tanya Hajriyanto heran. (Ali/Sss)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya