[OPINI] Reshuffle Kabinet dan 'Menguatnya' Jokowi

Presiden terlihat tidak tersandera oleh kekuatan politik yang ada, sehingga pengangkatan menteri baru tidak disertai manuver politik.

oleh Liputan6 diperbarui 24 Agu 2015, 19:05 WIB
Diterbitkan 24 Agu 2015, 19:05 WIB
Nico Harjanto, Direktur Eksekutif Populi Center
Nico Harjanto, Direktur Eksekutif Populi Center

Liputan6.com, Jakarta - Proses konsolidasi Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla belum usai meski usia kekuasaannya hampir mencapai satu tahun. Diawali dengan defisit dukungan di legislatif dan dikuasainya DPR oleh kekuatan oposisi yang menciptakan divided government, Pemerintahan Jokowi juga harus berjibaku mengkonsolidasikan dukungan dari partai-partai pendukung.

Beberapa kegaduhan politik selama ini selalu terkait hubungan power play dengan koalisi pendukung. Presiden yang menginginkan adanya otonomi untuk membuat keputusan politik, acapkali dihadapkan pada keinginan partai-partai koalisi yang merasa memiliki saham besar dalam pemerintahan saat ini.

Salah satu persoalan klasik dalam pemerintahan presidensial adalah tarik ulur antar kekuatan politik dalam penyusunan kabinet. Kalau dalam sistem parlementer, keputusan terpenting seorang perdana menteri adalah menentukan kapan diadakannya pemilihan umum, maka bagi presiden salah satu keputusan terpenting yang menentukan survival politiknya adalah berkaitan dengan political appointment.

Ketidaktepatan memilih pembantu-pembantunya di kabinet dan posisi strategis lainnya, merupakan perangkap politik yang dapat mengganjal jalannya pemerintahan. Bahkan mengancam kekuasaan presiden sendiri.

Presiden Jokowi tampaknya sadar dalam masa konsolidasi pemerintahan sampai saat ini, diperlukan sikap akomodatif terhadap kepentingan elit-elit koalisi yang menginginkan pengaruh besar di pemerintahan, dengan menempatkan loyalis-loyalisnya ke berbagai jabatan strategis.

Ini yang menyebabkan para anggota kabinet dan petinggi pemerintahan lainnya, bukanlah sepenuhnya all president’s persons. Karena beberapa di antara mereka masih memiliki loyalitas juga ke pimpinan partai atau sponsor politiknya.

Bahkan karena anggapan ketidakbebasannya dalam mengangkat petinggi pemerintahan, Jokowi dinilai secara naif sebagai pemimpin paling lemah dalam sejarah. Namun dinamika yang tidak mencerminkan sistem presidensial yang kuat tersebut perlahan mulai berubah.

Jokowi semakin matang meneguhkan kepemimpinannya dan mahir mengkonsolidasikan kekuasaan. Meminjam istilah Thomas Poguntke dan Paul Webb, dalam bukunya The Presidentialization of Politics (2005), Presiden Jokowi telah sukses melakukan awalan proses ‘presidensialisasi politik'. Di mana salah satu cirinya adalah "to govern past their parties rather than through them."

Dalam memerintah, Jokowi meski masih terus melakukan konsultasi dengan elite-elite koalisi pendukungnya. Tapi keputusan-keputusannya semakin menegaskan kemandirian politiknya. Sejumlah contoh terlihat mulai dari pengangkatan Kepala Staf Presiden, Kapolri, Panglima TNI, Kepala BIN, hingga reshuffle kabinet pada 12 Agustus yang lalu maupun keputusan-keputusannya terkait program strategis pemerintah.  

Presidensialisasi politik secara umum tampak dalam tiga wajah kepresidenan yaitu wajah eksekutif, wajah kepartaian, dan wajah elektoralnya. Executive face dari seorang presiden tampak dari menguatnya kontrol otonom dalam pelaksanan kekuasaan untuk mengangkat (the power of appointment), dan untuk memutuskan secara unilateral tanpa interferensi pihak-pihak luar (the power to decide).

Sementara wajah kepartaian seorang presiden akan diuji dalam seberapa jauh otonomi kepemimpinannya terhadap faksi-faksi maupun elite-elite partai politik. Apabila kepresidennya masih mencerminkan ketundukan terhadap elit pimpinan partai, cap sebagai presiden boneka akan sulit dihilangkan.

Yang terakhir, electoral face dari presidensialisasi terlihat ketika misalnya proses-proses penggalangan dukungan publik yang mempengaruhi proses elektoral nantinya tidak lagi yang bersifat 'partified control', di mana partai-partai mengontrol kerja-kerja elektoral. Tetapi proses pencarian dan penjagaan dukungan politik ini bergeser ke dominannya peran presiden.

Kepemimpinan dan kinerja presiden mestinya yang akan menentukan sukses tidaknya kompetisi elektoral partai pendukungnya, bukan lagi tergantung pada elit-elit pimpinan partai politik yang hasil kerjanya tidak mudah diukur.

Reshuffle kabinet lalu tampak mengindikasikan menguatnya presidensialisasi politik yang dijalankan oleh Presiden Jokowi, sehingga tampak semua pihak menyambut baik keputusan penting tersebut. Partai koalisi pendukung senang, oposisi mengapresiasi, dan publik serta pasar menaruh kepercayaan sehingga tidak muncul kegaduhan di sekitar proses .

Percik-percik kegaduhan justru muncul setelahreshuffle reshuffle, ketika ada menteri baru yang melanggar etika pemerintahan dengan membuat pernyataan-pernyataan yang mencerminkan keamatirannya dalam mengemban posisi publik.

Dalam reshuffle tersebut Presiden Jokowi bisa mengakomodasi sebagian aspirasi PDIP, memperbaiki koordinasi pemerintahan dengan mengangkat tiga menko baru, serta mengganti menteri-menteri yang dipandang kurang optimal kerjanya.

Meski masih terbatas dan belum bisa mewujudkan dream team di pemerintahan, namun reshuffle tersebut telah mengirimkan sinyal bagus secara politik, bahwa Presiden memiliki keberanian untuk membongkar pasang kabinetnya.

Presiden terlihat tidak tersandera oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada, sehingga pengangkatan menteri-menteri baru tidak disertai dengan akrobat dan manuver politik yang menimbulkan kegaduhan. Presiden juga terlihat memiliki otonomi dalam memutuskan beberapa nama untuk diganti atau dipertahankan.

Untuk memantapkan presidensialisasi politik, Jokowi sepertinya perlu mengadakan reshuffle jilid dua dalam tempo dekat, supaya menteri-menteri yang masih membebani laju kinerja pemerintahan dapat diganti dan soliditas pemerintahan dapat ditingkatkan.

Saat ini sepertinya Jokowi masih memiliki ministers, tapi belum kabinet yang anggota-anggotanya dapat bekerja secara sinergis dalam satu irama, dan pemikiran selaras dengan visi presiden.

Dengan reshuffle kabinet lagi secara mulus, setelah melewati satu tahun usia pemerintahannya, tahapan konsolidasi bisa diakhiri.

Pemerintah kemudian bisa menapaki periode implementasi janji-janji kampanye secara programatik dan teknokratik, dengan kabinet yang makin solid dan politik yang makin stabil karena reshuffle berikutnya harus bisa memperbesar dukungan politik di legislatif, dan semakin memperkuat hubungan presiden dengan partai-partai koalisi pendukung. (Sun/Yus)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya