Liputan6.com, Jakarta - Presiden Jokowi akhirnya melakukan reshuffle kabinet beberapa hari lalu. Seperti dikatakan Presiden, dalam bahasanya sendiri: "saya memutuskan perombakan kabinet guna memperkuat kinerja pemerintah untuk percepatan implementasi program aksi pembangunan".
Presiden melanjutkan: "bagi saya, perombakan kabinet adalah salah satu jembatan terbaik untuk memenuhi janji saya pada rakyat, yaitu meningkatkan kesejahteraan dalam peri kehidupan mereka".
Perbaikan dan peningkatan dalam kinerja pemerintah merupakan suatu keharusan. Pasti ada sesuatu yang salah dalam pengelolaan pemerintahan Jokowi-JK. Lepas dari persoalan ekonomi global, hasil survei nasional tentang kepuasan terhadap Jokowi memang cenderung rendah. Pada 100 hari pemerintahan, tingkat kepuasan hanya 61% (LSI), dalam 6 bulan 57% (Indo Barometer) dan sebulan kemudian di bawah 50% (Poltracking).
Di sisi lain, pelbagai indikator ekonomi maupun sosial politik menunjukkan banyak persoalan. Pertumbuhan ekonomi melambat, IHSG turun, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar makin lemah. Tingkat konsumsi terhadap berbagai produk menurun, bahkan mulai terdengar masalah PHK di sejumlah bidang, terutama pertambangan dan sektor-sektor lainnya.
Patut disyukuri bahwa Presiden Jokowi menyadari adanya aneka permasalahan tersebut di atas. Hal ini dimungkinkan karena Presiden cukup terbuka dengan berbagai pendapat dan masukan, baik dari para pengamat dan pelaku politik dan ekonomi, maupun dari media massa.
Saya sendiri termasuk orang yang pernah ikut dan menyaksikan langsung keterbukaan Presiden dalam suatu dialog sambil makan siang di Istana Negara.
Kesadaran Presiden ditegaskan secara formal dalam 3 pidato kenegaraan tanggal 14 Agustus 2015. Secara umum, dalam setiap pidato kenegaraan ada dua aspek penting yang perlu diperhatikan oleh kita. Pertama, identifikasi permasalahan oleh Presiden dan kedua, solusi yang dipikirkan atau diajukan oleh Presiden terhadap permasalahan tersebut.
Sekali lagi, Presiden telah cukup komprehensif dan baik dalam mengidentifikasi permasalahan bangsa. Daftar masalah dan keprihatinan dalam teks pidatonya cukup lengkap. Sayang, bagian solusi yang ditawarkan tidak sebaik bagian identifikasi masalah.
Saya sendiri membagi bagian solusi ini ke dalam dua sub-bagian. Pertama, sub-bagian hal-hal yang sudah dikerjakan, dan kedua, sub-bagian hal-hal yang akan dikerjakan. Saya coba timbang-timbang, rasanya kebanyakan isi pidato Presiden masih soal hal-hal yang akan dikerjakan, ketimbang yang sudah dikerjakan. Kalau pakai perspektif lima tahun tentu hal ini wajar, mengingat usia pemerintahan ini baru di tahun pertama.
Namun semestinya, dengan pemerintahan yang sudah hampir setahun bisa lebih banyak lagi hal-hal yang ingin dilakukan. Barangkali pidato kenegaraan presiden di tahun-tahun mendatang perlu menjelaskan rencana dan capaian dalam kerangka waktu tahunan, supaya semua tahu apa saja yang belum dan sudah tercapai dalam tahun berjalan.
Dengan begini, pekerjaan rumah yang tersisa dengan mudah bisa kelihatan bagi semua dan dapat diselesaikan pula secara bersama.
Masih dominannya sub-bagian hal-hal yang ingin dikerjakan ketimbang yang sudah dikerjakan, sekaligus jadi penanda perlunya perbaikan kinerja pemerintah. Di titik ini, Presiden tampak berusaha memperbaiki dengan 2 tahap. Tahap yang diperbaiki dulu adalah koordinasi.
Itu sebabnya, reshuffle kemarin melibatkan penggantian 3 dari 4 menko sekaligus. Tahap kedua, kemungkinan penggantian pada tataran menteri teknis.
Soal menko baru yang menggantikan menko lama, semua dapat dikatakan memuaskan. Dalam arti, dianggap memiliki senioritas, bobot, dan kemampuan yang lebih baik daripada menko sebelumnya. Penilaian ini tampak bulat dalam hal Menko Polhukam Luhut B Panjaitan dan Menko Perekonomian Darmin Nasution.
Meski agak lonjong dalam hal Menko Kemaritiman Rizal Ramli mengingat latar belakangnya sebagai ekonom, ketimbang seseorang yang berpengalaman di bidang kemaritiman.
Pada saat ini, kita berharap yang dicari dari Rizal Ramli adalah keberanian dan ketegasannya soal pilihan-pilihan pemerintahan. Keberanian dan ketegasan Rizal sering berbuah kontroversi. Kontroversi itu langsung kelihatan dengan pernyataannya yang mempertanyakan rencana Garuda membeli pesawat Airbus untuk rute ke Eropa dengan cara pinjaman.
Pokok pertanyaan Rizal adalah soal kelayakan hitungan bisnis rute ke Eropa dan potensi hutang besar akibat pembelian pesawat Airbus terhadap keuangan Garuda. Yang menarik, pernyataan Rizal ini langsung mendapat reaksi keras dari Menteri BUMN Rini Soemarno, yang balik mempertanyakan posisi dan wewenang Rizal berbicara soal Garuda yang notabene di bawa Menteri BUMN dan Menko Perekonomian.
Dalam kacamata formal, keberatan Rini wajar, meski mungkin ada cara yang lebih elegan untuk merespons Rizal. Misalnya dengan menjelaskan hitungan bisnis rute ke Eropa dan kondisi keuangan Garuda akibat utang yang akan muncul. Dengan kata lain, soal angka dijawab dengan angka. Bukan dengan penyataan yang justru akan mengalihkan dari substansi persoalan.
Harus dicatat bahwa yang 'ditembak' Rizal dalam hari-hari pertamanya sebagai menko bukan hanya soal Garuda. Rizal juga mempertanyakan rencana Kementerian ESDM berkaitan dengan pengadaan listrik 35 ribu megawatt. Syukurlah, reaksi Menteri ESDM Sudirman Said tidak sekeras Rini Soewandi.
Kita harapkan Sudirman Said menjawab pertanyaan Rizal dengan elegan, yakni dengan angka-angka yang bisa meyakinkan. Jika tidak meyakinkan, tidak ada salahnya bila rencana itu diubah atau dibatalkan.
Dalam perspektif negatif, kehadiran Rizal dengan pernyataannya dapat dianggap sebagai sumber instabilitas dan konflik dalam kabinet. Tapi dalam perspektif positif, tembakan-tembakan Rizal dengan pertanyaan dan pernyataannya bisa dianggap sebagai 'penguji' asumsi-asumsi dan kalkulasi-kalkulasi keuangan, politik, dan managerial di balik aneka rencana dan keputusan para menteri atau jajaran di bawahnya.
Dengan perspektif ini jika dijawab dengan dingin dan elegan, maka kehadiran seorang Rizal Ramli akan membawa perbaikan kinerja pemerintah sebagaimana diharapkan Presiden Jokowi dalam pidatonya.
Di titik ini, setelah reshuffle dan pidato kenegaraan presiden, kita berharap bahwa kinerja pemerintah dan kondisi ekonomi serta kesejahteraan rakyat semakin meningkat. Mudah-mudahan saja pergantian menko sudah dapat menolong situasi.
Jika koordinasi sudah membaik karena menko sudah diganti namun kinerja menteri tidak kunjung meningkat, jangan heran apabila Presiden akan kembali mengadakan reshuffle kabinet. Jika terjadi reshuffle jilid 2, maka sasarannya adalah para menteri teknis. Jangan heran juga jika jumlahnya jauh lebih banyak daripada yang sekarang. Waspadalah...(Sun/Ado)
[OPINI] Reshuffle dan Perbaikan Kinerja Kabinet
Jika terjadi reshuffle jilid 2, maka sasarannya adalah para menteri teknis. Jangan heran juga jika jumlahnya jauh lebih banyak dari sekarang
diperbarui 17 Agu 2015, 19:34 WIBDiterbitkan 17 Agu 2015, 19:34 WIB
Advertisement
Live Streaming
Powered by
Video Pilihan Hari Ini
Video Terkini
powered by
POPULER
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Berita Terbaru
4 Rekomendasi Drakor yang Tayang Januari 2025, dari When The Stars Gossip hingga Motel California
Usai Pertemuan dengan Prabowo di Kertanegara, Bahlil Golkar: Bahas Hal Biasa
Menag: Natal 2024 Bukan hanya Perayaan Spiritual, tapi Momen Perkuat Persatuan dan Toleransi
Hasil BRI Liga 1 Bali United vs Persebaya Surabaya: Serdadu Tridatu Beri Bajul Ijo Kekalahan Kedua
Fungsi Beriman Kepada Hari Akhir: Memahami Makna dan Manfaatnya
PPN Naik ke 12%, Ekonom Jelaskan Pentingnya Insentif untuk Antisipasi Kenaikan Biaya Produksi
Kenaikan PPN ke 12% Jadi Langkah Moderat Pemerintah Saat Ini
Kasus Pabrik Uang Palsu UIN Alauddin, Pengusaha Annar Salahuddin Sampetoding Jadi Tersangka
Mantan Pacar Liam Payne Sophia Smith Tunangan 2 Bulan Setelah Kematian Tragis Mantan Personel One Direction
Pemerintah Tak Impor Pangan Mulai 2025
Gus Baha Ungkap kenapa Rasulullah Wajib Sholat Tahajud, Ternyata Demi Syafaat Umatnya di Hari Kiamat
Said Abdullah Mengimbau Agar Isu yang Melibatkan Hasto Kristiyanto Tidak Semakin Meluas