[OPINI] Hentikan Revisi UU KPK

Dengan adanya kewajiban izin kepada Dewan Pengawas, penyadapan tak mungkin lagi menjadi andalan utama KPK.

oleh Liputan6 diperbarui 29 Feb 2016, 18:00 WIB
Diterbitkan 29 Feb 2016, 18:00 WIB
Saldi Isra
Opini Saldi Isra (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Setelah melewati pro-kontra yang melelahkan, pertemuan konsultasi antara Presiden Joko Widodo dan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (22 Februari 2016) menyepakati: menunda rencana revisi Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Bila ditilik ke belakang, penundaan ini mengulangi kejadian serupa pada 13 Oktober 2015. Saat itu, karena desakan berbagai lapisan masyarakat, pemerintah dan pimpinan DPR juga sepakat memilh langkah penundaan.

Kalau dibaca dalam spektrum yang lebih luas, penundaan yang dilakukan pada kedua kejadian tersebut, lebih karena desakan kuat dari berbagai pihak yang concern terhadap masa depan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang sekaligus ancaman terhadap masa depan agenda pemberantasan korupsi.

Basis argumentasinya sangat sederhana. Di tengah perilaku korupsi yang makin masif, sulit mengharapkan agenda pemberantasan korupsi tanpa KPK. Dengan cara pandang begitu, memperlemah KPK harus dibaca sebagai bentuk penggerogotan atas upaya pemberantasan korupsi.

Setelah membaca empat poin substansi revisi UU No 30 Tahun 2002 yang disepakati badan legislasi DPR: apakah "sikap politik" pimpinan DPR dan Presiden Joko Widodo menunda revisi menjadi pilihan yang patut diterima? Ihwal pertanyaan itu, sebaiknya disimak pernyataan ratusan profesor yang tergabung dalam Forum Guru Besar Tolak Revisi UU KPK.

Pada pokoknya, para mahaguru tersebut menyatakan bahwa penundaan revisi UU No 30 Tahun 2002 hanya akan menjadi "bom waktu" karena sewaktu-waktu dapat dibahas kembali.

Sesat Pikir Penguatan

Setelah melihat sepak-terjang KPK dan arti penting kehadiran lembaga antirasuah ini di tengah desain besar pemberantasan korupsi, keinginan menguatkan KPK seharusnya disambut baik. Tentu saja, bila penguatan tersebut sesuai dengan menggunakan cara berpikir yang tepat.

Misalnya, berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (hlm. 468), kata "memperkuat" dimaknai sebagai "menjadikan lebih kuat", seperti memperkukuh dan memperteguh.

Pertanyaannya: benarkah empat materi revisi UU No 30 Tahun 2002 yang disepakati badan legislasi DPR akan berujung memperkuat KPK? Artinya, dengan menggunakan makna leksikal tersebut, bila empat substansi perubahan yang disepakati dilakukan, maka hasilnya akan memperkukuh atau memperteguh posisi KPK.

Atau, secara lebih sederhana, dengan menggunakan bingkai memperkuat, KPK setelah revisi akan jauh lebih kuat bila dibandingkan dengan KPK sebelum revisi UU No 30/2002.

Guna membuktikannya, mari ditelusuri dan dibahas materi revisi yang terkait. Misalnya, dengan pembentukan Dewan Pengawas. Dari gagasan yang berkembang ke publik, Dewan Pengawas akan menjadi lembaga kontrol terhadap wewenang strategis KPK, terutama wewenang penyadapan.

Bila benar-benar dibentuk, penyadapan hanya dapat dilakukan setelah diberitahukan pada Dewan Pengawas. Lalu, adakah jaminan bahwa rencana penyadapan tak bocor ke luar sebelum para penyidik KPK bergerak?

Pertanyaan berupa kekhawatiran tersebut terasa begitu pantas dikemukakan bila dikaitkan dengan wewenang penyadapan. Jamak dipahami, wewenang menyadap menjadi semacam mahkota KPK dalam "mengendus" berbagai kalangan yang terbiasa menikmati penyalahgunaan kekuasaan.

Dengan adanya kewajiban izin kepada Dewan Pengawas, penyadapan tak mungkin lagi menjadi andalan utama KPK. Terkait dengan hal ini, dalam "Memperkuat Pelemahan KPK" (Kompas, 15/2/2016) saya kemukakan bahwa pengaturan wewenang penyadapan yang memerlukan izin Dewan Pengawas potensial melumpuhkan langkah penindakan KPK.

Dasar argumentasi untuk sampai pada pandangan tersebut sangat sederhana, penyadapan dilakukan setelah adanya bukti permulaan yang cukup dan harus ada izin tertulis Dewan Pengawas. Artinya, sadar atau tidak, adanya persyaratan komulasi (bukti permulaan yang cukup tambah izin Dewan Pengawas) potensial melumpuhkan wewenang penyadapan KPK.

Karena itu, patut diduga, target sesungguhnya revisi UU No 30/2002 adalah mendesain dasar hukum yang mampu mengendalikan wewenang penyadapan KPK.

Jamak diketahui, penyadapan yang dipraktikkan KPK terbukti sangat ampuh melacak pencoleng uang negara. Sulit dibantah, sebagian politikus Senayan merupakan pihak yang paling was-was dengan penyadapan KPK.

Bahkan, bila ditelusuri wacana revisi UU No 30/2002 yang disuarakan sebagian kekuatan politik di DPR, wewenang penyadapan menjadi sasaran utama. Bagaimanapun, selama wewenang penyadapan masih seperti saat ini, praktik koruptif tinggal persoalan waktu saja jatuh dalam "pelukan" KPK.

Dengan membatasi bahasan hanya dua dari empat substansi perubahan, tidak berlebihan mengatakan bahwa substansi perubahan yang disepakati badan legislasi DPR, jelas jauh panggang dari api sebagai upaya memperkuat KPK.

Sampai sejauh ini, belum bisa dibaca argumentasi memadai yang bisa mematahkan basis argumentasi bahwa, misalnya, kehadiran Dewan Pengawas dan pengaturan wewenang penyadapan sebagai bukan bentuk pelemahan KPK.

Dengan demikian, hanyalah cara berpikir sesat yang mengatakan substansi tersebut sebagai bentuk penguatan KPK.

Hentikan!

Setelah melihat ancaman pelemahan dalam substansi revisi UU No 30/2002, pilihan menunda tentunya bukan pilihan yang tepat guna menyelamatkan KPK dan sekaligus menyelamatkan masa depan pemberantasan korupsi.

Satu-satunya cara memperkuat KPK, DPR dan Presiden Joko Widodo mesti menyudahi perdebatan dan menghentikan revisi UU No 30 Tahun 2002.

Langkah nyata ke arah, menarik revisi UU No 30 Tahun 2002 sebagai agenda prioritas dalam Program Legislasi Nasional 2016 dan sekaligus mencabutnya dalam agenda Program Legislasi Nasional 2015-2019.

Selama langkah tersebut tidak dilakukan, sebagaimana dikhawatirkan Forum Guru Besar di atas, penundaan sangat mungkin menjadi bom-waktu.

Bilamana perkembangan politik di DPR tidak banyak bergerak dan dukungan untuk membatalkan revisi tidak bertambah, upaya menghentikan revisi hanya dapat diharapkan muncul dari Presiden Joko Widodo.

Harapan tersebut lebih didorong dua fakta bahwa pertengahan Juni 2015, Presiden Joko Widodo mengatakan menolak rencana revisi UU No 30/2002. Hal lain, dalam Nawacita, Presiden Joko Widodo juga menyatakan secara tegas menolak segala bentuk upaya pelemahan KPK.

Dengan fakta tersebut, Presiden Joko Widodo jelas memiliki posisi sentral menghentikan rencana revisi UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK. Pak Jokowi, haruskah rakyat menunggu begitu lebih lama lagi?

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya