OPINI: Mendorong Ekonomi Mudik dan “Work from Anywhere”

Pada periode Lebaran 2025 ini, menteri perhubungan memperkirakan sejumlah 146,48 juta pemudik akan melakukan perjalanan “pulang kampung” dengan didukung kebijakan work from anywhere.

oleh Tim Bisnis Diperbarui 25 Mar 2025, 13:55 WIB
Diterbitkan 25 Mar 2025, 13:00 WIB
Gunawan Wicaksono  Ekonom Ahli Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Tengah
Gunawan Wicaksono Ekonom Ahli Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jawa Tengah... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta Masih jelas teringat dalam benak Berni (bukan nama sebenarnya) tawa riang bahagia kedua orangtua dan kakak-adiknya pada Lebaran tahun lalu. Ingatan bahagia itu kembali membayang seiring rencananya untuk kembali pulang kampung dalam seminggu ini.

Sebenarnya Lebaran masih cukup jauh. Namun, kebijakan pemerintah yang menerapkan WFA (work from anywhere) memungkinkan Berni, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) dapat bekerja dari mana saja dan dapat pulang lebih awal.

Kepastian ASN dapat melakukan WFA ini berdasarkan Surat Edaran Menteri PANRB No 2/2025 yang memungkinkan WFA dari tanggal 24 sampai dengan 27 Maret 2025. Jika hanya berdasarkan waktu cuti bersama dan libur hari besar keagamaan, maka waktu mudik berkisar dari tanggal 28 Maret hingga 7 April 2025 selama 11 hari. Dengan tambahan 4 hari, maka total waktu mudik menjadi 18 hari dihitung sejak hari Jumat sebelumnya.

Pada periode Lebaran 2025 ini, menteri perhubungan memperkirakan sejumlah 146,48 juta pemudik akan melakukan perjalanan “pulang kampung”.

Dengan penerapan WFA, maka arus mudik diperkirakan sudah mulai meningkat sejak H-10 atau 21 Maret 2025. Terjadi penyebaran arus mudik lebih tinggi dalam periode 21 sampai dengan 27 Maret 2025 dibandingkan dengan scenario tanpa WFA. Peningkatannya antara 1,5% sampai dengan 2% per harinya hingga H-6.

Sementara sejak H-5 sampai dengan Lebaran relatif arus mudik tanpa WFA akan lebih tinggi 2 sampai dengan 3 persen. Itu berarti pada puncak arus mudik H-3, arus mudik dengan WFA akan mengurangi kepadatan mudik hampir seperempatnya yaitu sekitar 4,7 juta dari 16,85 juta menjadi hanya 12,15 juta pemudik.

Sekarang dengan asumsi bahwa setiap pemudik akan mengkonsumsi beras 6,5 kilogram per bulan (BPS, 2024), maka total konsumsi beras selama periode mudik sekitar hampir 338 ribu ton tanpa WFA dan ini akan meningkat menjadi hampir 553 ribu ton dengan WFA.

Perlu dicatat, ini bukan berarti peningkatan total neto konsumsi beras namun lebih kepada peningkatan konsumsi beras pada daerah tujuan mudik dan pengurangan konsumsi beras pada daerah asal mudik.

Dengan harga beras berkisar antara Rp13.500 dan Rp17.000 maka selama periode mudik hanya untuk beras saja berkisar Rp 7,5 hingga Rp 9,4 trilun.

Jika memperhitungkan pengeluaran lauk pauk dan biaya transportasi dan akomodasi serta biaya lainnya, maka dengan mudahnya akan meningkat menjadi lebih dari Rp 250 triliun.

Jelas estimasi sederhana ini menunjukkan peningkatan nyata penerapan WFA dalam periode mudik dibandingkan tanpa WFA yang hanya berkisar Rp 156 triliun.

 

Promosi 1

Dampak Ekonomi di Daerah

Pada kenyataannya, tiap daerah akan menikmati dampak yang berbeda. Sebagai ilustrasi, pemudik yang kembali ke Jawa Tengah diperkirakan akan meningkat setara dengan jumlah penduduk Jawa Tengah selama periode Lebaran 2025.

Itu berarti penduduk Jawa Tengah akan meningkat dari sekitar 38 juta jiwa menjadi lebih dari 75 juta jiwa selama periode lebaran ini.

Arus perputaran uang yang tercipta itu mestinya dapat ditangkap dan dimanfaatkan dengan baik. Kualitas pelayanan yang diberikan justru perlu semakin meningkat. Keamanan dan kenyamanan pemudik harus lebih diutamakan.

Mereka itu adalah penggerak ekonomi yang luar biasa. Apalagi dengan kemudahan bertransaksi nontunai di berbagai sektor ekonomi (seperti penerapan QRIS yang didorong Bank Indonesia dan Perbankan di berbagai daerah), maka kecepatan bertransaksi dan perputaran uang juga meningkat luar biasa.

Ketersediaan pasokan pangan perlu diperhatikan karena akan terjadi peningkatan permintaan yang bersifat sementara pada daerah tujuan mudik yang apabila tidak dikelola dengan baik dapat mendorong terjadinya peningkatan harga yang tidak wajar.

Migrasi penduduk dalam tempo singkat ini menjadi tantangan tersendiri dalam pengelolaannya baik dari sisi pengelolaan waktu dan transportasi maupun dari sisi kecukupan pasokan pangan serta keamanan dan kenyamanan pemudik.

Koordinasi yang intensif antar pemangku kebijakan dan instansi terkait menjadi kunci kestabilan harga serta keamanan dan kenyamanan para pemudik.

Optimalisasi peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam bidang pangan bekerjasama dengan BUMD lain serta berbagai Badan Usaha Milik Petani (BUMP) dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) dapat menciptakan hubungan yang harmonis yang menjamin ketersediaan pasokan berkesinambungan antar waktu dan antar daerah.

Gerakan Pangan Murah serentak yang baru saja dilakukan di Jawa Tengah yang merupakan contoh bentuk koordinasi Pemerintah Daerah Provinsi Kabupaten/Kota dengan Bank Indonesia, Bulog, Badan Pangan Nasional dan berbagai instansi lain membantu masyarakat memperoleh bahan pangannya dengan harga terjangkau.

 

Dampak Positif Program Mudik Bareng Gratis

Kegiatan mudik bareng dengan biaya terjangkau, keamanan terjaga menguatkan persepsi masyarakat terhadap keseriusan pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat.

Ini semua membantu pembentukan ekspektasi masyarakat terhadap kecukupan pasokan dan kestabilan harga bahan pangan.

Kegiatan perekonomian yang meningkat selama periode Lebaran dapat menjadi peluang bagi banyak daerah untuk memutar roda ekonominya lebih kencang sekaligus memperkenalkan berbagai usaha kecil menengah khas daerah.

Hanya dengan kesiapan daerah yang baik, maka peluang mendorong pertumbuhan ekonomi dan efek multipliernya pada berbagai sektor dapat diwujudkan bagi kesejahteraan Masyarakat di daerah tujuan mudik.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya