Calon Tunggal di Pilkada 2024 Menurun, Koalisi Parpol Dinilai Perlu Diatur

Kholil menjelaskan, penurunan ini tentu harus dinilai sebagai sebuah hal positif dan menggembirakan. Semakin sedikit daerah yang bercalon tunggal, semakin baik bagi masyarakat dan sehat bagi demokrasi.

oleh Tim News diperbarui 02 Sep 2024, 15:02 WIB
Diterbitkan 02 Sep 2024, 14:42 WIB
Ilustrasi Pilkada Serentak
Ilustrasi Pilkada Serentak

Liputan6.com, Jakarta - Sampai berakhirnya masa pendaftaran pasangan calon kepala daerah 29 Agustus 2024, terdapat 43 daerah yang bercalon tunggal dari 545 daerah (7,89%). Dari jumlah tersebut, satu daerah untuk jabatan gubernur yaitu Provinsi Papua Barat. Selebihnya tersebar untuk jabatan bupati dan wali kota.

Menurut Ketua The Constitutional Democracy Initiative (CONSID) Kholil Pasaribu, jika dilihat secara akumulasi pelaksanaan pilkada serentak sejak 2017-2020, di mana jumlah daerah yang melaksanakan pilkada sama banyaknya dengan pelaksanaan pilkada tahun ini, jumlah calon tunggal sebanyak 50 (9,17%).

"Ini artinya jika dibandingkan dengan pilkada 2024 terjadi penurunan sebesar 1,28% jumlah daerah bercalon tunggal," kata dia dikutip Senin (2/9/2024).

Kholil menjelaskan, penurunan ini tentu harus dinilai sebagai sebuah hal positif dan menggembirakan. Semakin sedikit daerah yang bercalon tunggal, semakin baik bagi masyarakat dan sehat bagi demokrasi.

"Karena hak konstitusional warga untuk mendapatkan banyak alternatif calon pemimpin mereka terpenuhi. Sebab bagaimana pun, masyarakat daerah itulah yang akan merasakan dampak dari hasil pemilihan setidaknya untuk masa lima tahun," ujar dia.

Kholil menilai, penurunan ini dipengaruhi oleh keluarnya putusan MK No.60/PUU-XXII/2024. Daerah-daerah seperti Provinsi Banten atau Kota Tangerang Selatan yang semula potensi bercalon tunggal, akhirnya berubah. "Hanya saja pengaruh putusan MK itu belum begitu meluas terjadi dibanyak daerah."

Menurut dia, setidaknya ada dua hal sehingga putusan MK itu belum begitu efektif. Pertama, pendeknya jangka waktu antara keluarnya putusan MK dengan masa dimulainya pendaftaran, sementara koalisi antar parpol sudah terbangun lama dan erat.

"Kedua, menguatnya semangat pengabaian dan perlawanan putusan MK oleh parpol, terutama parpol pemilik kursi di DPR RI. Ini terkonfirmasi dari upaya revisi kilat RUU Pilkada yang berujung gagal karena mendapat perlawanan dari masyarakat," ujar dia.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Putusan MK Sesungguhnya Untungkan Parpol

 

Pengabaian dan perlawanan yang diperlihatkan parpol tersebut dinilainya sebagai anomali, sebab putusan MK itu sesungguhnya menguntungkan parpol karena dengan itu bisa mengajukan pasangan calon tanpa tersandera oleh syarat pencalonan yang berat.

"Karena itu , tidak ada alasan lain yang bisa menjelaskan sikap anomali parpol tersebut kecuali parpol telah terperangkap dalam praktik politik kartel. Elite-elite parpol menggadaikan kemandirian dan kedaulatan partainya dengan sikap pragmatisme," kata dia.

Dia menyatakan, calon tunggal memang menjanjikan kemenangan yang paripurna. Gabungan parpol pengusung dan calon tidak perlu mengeluarkan uang yang terlalu banyak. Sementara keuntungan politik dan ekonomi sudah bisa dipastikan berada dalam genggaman.

"Itu sebabnya, di tengah akutnya serangan pragmatisme melanda elite-elite parpol, calon tunggal menjadi pilihan yang paling menjanjikan keuntungan," katanya.

Ke depan, tentu saja ini tidak bisa dibiarkan dan dianggap wajar. Meski kehadirannya sah dan konstitusional, tetapi itu bukan cara terbaik menghargai kedaulatan rakyat dan membangun demokrasi yang sehat.

 


Calon Tunggal Jangan Sampai Jadi Pilihan Favorit Parpol

Karena itu, dia mengungkapkan, agar calon tunggal jangan sampai menjadi pilihan favorit partai, harus ada pembenahan.

Pertama, jelas Kholil, UU Pilkada harus memuat aturan yang memuat adanya ambang maksimal persentase jumlah suara partai atau gabungan partai. Putusan MK 60 hanya mengatur ambang batas minimal persentase perolehan suara partai atau gabungan partai.

"Dengan adanya pengaturan ambang batas maksimal tersebut, membatasi menumpuknya banyak partai dalam satu koalisi pencalonan," terang Kholil.

Kedua, sebagai kelanjutan dari yang pertama, perlu juga diatur sanksi bagi partai atau gabungan partai yang memenuhi syarat mengajukan pasangan calon tetapi tidak mengajukannya. Ketentuan ini sebagaimana halnya dalam pengajuan pasangan calon dalam pemilihan presiden.

"Ketiga, Penataan ulang soal keuangan politik sehingga biaya politik yang harus ditanggung oleh calon atau partai/gabungan partai lebih rasional dan bisa dipertanggungjawabkan," ujar dia.

Infografis Beda Putusan MK dan DPR Terkait Revisi UU Pilkada. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Beda Putusan MK dan DPR Terkait Revisi UU Pilkada. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya