Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengakui saat ini kebijakan hunian berimbang saat ini masih belum banyak dilaksanakan oleh para pengembang. Padahal kebijakan ini merupakan salah satu kunci yang mampu mengurangi backlog.
"Backlog saat ini sebesar 13,5 juta unit, sekitar 60 persennya itu adalah kebutuhan rumah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Sehingga yang lebih banyak dibutuhkan adalah rumah untuk kelas menengah ke bawah," ungkap Syarif Burhanuddin, Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan seperti ditulis Senin (11/1/2016) yang dikutip dari Rumah.com.
Baca Juga
Dia menjelaskan, menurut UU No. 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), pengembang dalam membangun perumahan, wajib mewujudkan perumahan dengan hunian berimbang.
Advertisement
Baca Juga
Lebih lanjut dijelaskan dalam Permenpera No. 10 Tahun 2012, bahwa konsep hunian berimbang untuk rumah tapak adalah dengan perbandingan 1:2:3. Yaitu setiap satu rumah mewah, wajib diimbangi dengan dua rumah menengah dan tiga rumah sederhana, dalam satu hamparan, atau tidak dalam satu hamparan tetapi pada satu wilayah Kabupaten/Kota.
Sedangkan dalam UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, diatur bahwa dalam pembangunan rumah susun komersial, pengembang wajib menyediakan rumah susun umum (untuk MBR) sekurang-kurangnya 20 persen dari total luasan lantai rumah susun komersial yang dibangun.
Kebijakan ini, kata Syarif, sempat dikeluhkan para pengembang, karena harga tanah yang dianggap strategis untuk rumah komersial jauh lebih mahal, sehingga tidak dimungkinkan untuk dibangun rumah sederhana pada satu hamparan.
"Sebenarnya, saat ini pengembang sudah diberi kemudahan. Harga tanah yang tinggi tidak memungkinkan pengembang membangun rumah sederhana di satu hamparan dengan rumah komersial. Makanya pengembang diperbolehkan untuk membangun hunian berimbang dalam satu wilayah Kota atau Kabupaten. Tetapi masih banyak pengembang yang tetap belum menjalankan," jelas Syarif.
Sebagai informasi, Ia menjelaskan, dalam Permenpera Nomor 10 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Dengan Hunian Berimbang sebagaimana telah diubah dengan Permenpera Nomor 07 Tahun 2013, telah diatur bahwa pengembang yang tidak melaksanakan konsep hunian berimbang dapat dikenai tindak pidana dan perdata.
"Bahkan sanksi terberat dalam Peraturan tersebut dapat mencabut izin usaha perusahan. Namun masih banyak pengembang yang tidak mengindahkan peraturan tersebut," ujar dia..
Kuncinya Pemerintah Daerah
Syarif menuturkan, saat ini pengembang lebih banyak membangun rumah komersial karena keuntungan yang lebih besar. Karena itu, peran Pemerintah Daerah sangat penting untuk dapat mendukung kebijakan hunian berimbang.
"Kunci utamanya adalah Pemerintah Daerah. Karena izin IMB dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Kalau saat pengembang mengajukan siteplan, dan dalam siteplan tidak menunjukkan komposisi hunian berimbang, sebaiknya izin tidak dikeluarkan," tegas dia.
Syarif berharap Pemerintah Daerah juga dapat segera membuat Perda untuk mendukung Undang-undang yang mengatur hunian berimbang, sebagaimana diamanatkan pada pasal 36 ayat 3 UU Nomor 1 Tahun 2011.
"Meskipun belum ada perda, saat ini sebenarnya Undang-undang sudah berlaku. Sehingga pengembang harusnya segera memenuhi kewajibannya. Namun untuk lebih memperkuat, Pemda diharapkan dapat segera membentuk Perda," pungkas Syarif. (Anto E/Ahm)