Liputan6.com, Jakarta - Pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk rumah susun sederhana milik (rusunami) seharga maksimal Rp 250 juta meski disambut baik kalangan pengembang, namun ternyata belum memuaskan. Dua asosiasi pengembang yakni Real Estat Indonesia (REI) dan Asosiasi Pengembang Perumahan dan Kawasan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) memberi catatan terhadap aturan tersebut.
Batasan harga maksimum rusunami yang bebas PPN diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 269/PMK.010/2015 tentang Batasan Harga Jual Unit Hunian Rumah Susun Sederhana Milik dan Penghasilan Bagi Orang Pribadi Yang Memperoleh Unit Hunian Rumah Susun Sederhana Milik. PMK yang ditandatangani Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pada 31 Desember 2015, dan berlaku mulai 8 Januari 2016.
Ketua Umum DPP REI, Eddy Hussy mengapresiasi pemerintah yang telah mendengarkan masukan pengembang untuk merevisi batasan harga maksimal rusunami sehingga lebih menarik minat developer membangun hunian vertikal bagi masyarakat berpenghasilan rendah tersebut. Namun diakui masih sulit membangun rusunami seharga Rp 250 juta per unit di Jabodetabek.
"Padahal kami ingin sekali menggalang para pengembang besar untuk mau membangun rusunami ini sebagai bagian dari Program Sejuta Rumah (PSR)," kata Eddy Hussy yang ditulis Liputan6.com, Senin (25/1/2016).
REI, ungkap dia, akan melakukan cross check dengan pemerintah terutama Kementerian Keuangan terkait aturan baru batasan harga rusunami yang bebas PPN 10 persen tersebut. Berdasarkan aturan yang baru tersebut, harga rusunami yang dibebaskan dari PPN ditetapkan tidak lebih dari Rp 250 juta dengan luas maksimal 36 meter persegi.
Sedangkan calon pembeli dibatasi bagi masyarakat dengan maksimal penghasilan Rp 7 juta per bulan, serta belum memiliki rumah.
Sebelumnya, batasan harga maksimal rusunami yang bebas PPN 10 persen dan bisa menggunakan dana FLPP ditetapkan berdasarkan harga per meter persegi (m2) yang berbeda-beda menurut wilayah. Kisarannya dari mulai Rp 7 juta per m2 hingga Rp 14 juta per m2.
"Bagi kami sebenarnya penentuan batas harga rusunami menurut meter persegi akan lebih jelas dan ideal. Dengan pertimbangan harga material, harga tanah dan upah tukang yang tidak sama di setiap daerah," ungkap Eddy Hussy.
Berdasarkan kalkulasi REI, idealnya batasan harga rusunami di Bodetabek sekitar Rp 9,5 juta hingga Rp 10 juta per m2.
Ketua DPP Asosiasi Pengembang Perumahaan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Eddy Ganefo pun menyambut baik adanya perbaikan batasan harga rusunami yang bebas PPN 10 persen menjadi maksimum Rp 250 juta.
"Saya kira sudah bagus dibandingkan yang sebelumnya. Harganya masih bisa masuk, setidaknya dapat menarik minat pengembang di kota-kota di daerah untuk bangun rusunami," kata Eddy Ganefo kepada Liputan6.com, Minggu.
Meski begitu, dia menilai harga rusunami terbaru itu tidak akan banyak berarti untuk mendorong pengembang membangun hunian vertikal murah itu kalau masih ada aturan yang menghambat.
Salah satunya aturan Bank Indonesia yang baru memperbolehkan pengembang memasarkan unit rusunami ketika fisik bangunan sudah selesai. Hal itu, ujar Eddy Ganefo, memberatkan pengembang menengah bawah yang memiliki keterbatasan cash flow.
"Kami harap supaya aturan ini dihapuskan, sehingga pengembang dapat menjual unit meski konstruksi rusunami sedang dalam pengerjaan. Untuk apartemen saja bisa (dijual sebelum fisik selesai), kenapa untuk rusunami tidak bisa? Ini buat rumah rakyat lho," tegas dia.
Hambatan lain yang perlu diselesaikan pemerintah adalah menyangkut kemudahan berusaha bagi pengembang rumah rakyat. Dari mulai perizinan yang berbelit-belit dan mahal, hingga sulitnya mendapatkan kredit modal kerja dengan bunga rendah dari bank. (Rinaldi/Ndw)