Awal 2016, Pasar Properti Jakarta Masih Recovery

Pasar properti yang lesu sepanjang tahun 2015 masih mempengaruhi pasar Jakarta kuartal awal 2016

oleh Isnaini Khoirunisa diperbarui 08 Apr 2016, 07:00 WIB
Diterbitkan 08 Apr 2016, 07:00 WIB
Primadona Properti Masih di Tangan Jakarta Selatan-Rumah.com
Mengamati perkembangannya sejak beberapa tahun silam, Jakarta Selatan terus menawarkan sejuta pesonanya di sektor properti.

Liputan6.com, Jakarta Pasar properti yang lesu sepanjang tahun 2015 ternyata masih berpengaruh terhadap kondisi di awal tahun 2016. Pemulihan terjadi di beberapa sektor seperti okupansi ruang kantor dan ritel. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor misalnya menguatnya rupiah terhadap dolar AS. Demikian pemaparan dari JLL (Jones Lang LaSalle) Indonesia melalui Jakarta Property Market Review (6/4).

“Awal tahun 2016 masih dibayangi oleh perlambatan ekonomi yang terjadi di tahun lalu, dengan depresiasi rupiah dan penurunan harga minyak dunia. Namun aktivitas pasar yang lebih baik di awal tahun ini memacu para investor dan pelaku bisnis properti agar tetap optimis, khususnya untuk sektor perkantoran dan kondominium,” ujar Vivin Harsanto, selaku head of advisory JLL Indonesia, seperti dikutip dari Rumah.com

Di sektor perkantoran, okupansi sektor perkantoran di CBD (central business district) hanya mencapai 87 persen. Hal ini disebabkan penambahan suplai ruang kantor sekitar 350.000 meter persegi.

“Akan butuh waktu untuk mengejar, khususnya hingga dua hingga tiga tahun ke depan,” tambah Vivin.

Dengan posisi rental clock perkantoran Jakarta yang berada di jam 1 atau berada di posisi hendak jatuh maka tidak heran jika penyewa mulai menurunkan tarifnya. Rata-rata harga sewa untuk ruang kantor Grade A terkoreksi sekitar 1,9 persen di angka Rp304.989 per meter persegi. Baru pada awal tahun 2020 pasar perkantoran di prediksi akan beranjak naik.

Jakarta Rental Clock

“Untuk tenant, perusahaan yang datang dari sektor IT, Professional services dan e-commerce masih menjadi pemain yang aktif di pasar,” ungkap Angela Wibawa selaku Head of Markets JLL Indonesia.

Sementara itu, harga sewa yang relatif tinggi di CBD membuat area non-CBD seperti Jakarta Barat dan Timur masih dipilih sebagai alternatif favorit. Dengan bertambahnya beberapa unit perkantoran baru yang masih dalam proses konstruksi, okupansi perkantoran rata-rata di non-CBD cenderung stabil di angka 83 persen.

Mengenai banderol sewa, gross rent berada di kisaran Rp182.641 per meter persegi. TB Simatupang mengalami penurunan harga sewa sekitar dua persen di angka Rp170.000 per meter persegi. Sementara itu penyerapannya berada di kisaran terendah, yaitu 72 persen. Angka ini terpengaruh akibat bertambahnya ruang kantor baru yang masih dalam proses konstruksi.

Okupansi ritel merambah ke luar kota

Di tengah pembatasan jumlah suplai mal karena moratorium pemerintah DKI Jakarta di tahun 2012, permintaan ruang ritel cenderung meningkat. Menurut data dari JLL, terjadi peningkatan harga sewa untuk mal menengah atas di angka 1,3 persen. Sementara penyerapannya masih stabil di kisaran 92 persen.

Kurangnya pasokan ruang ritel membuat tenant memiliki beberapa pilihan untuk ekspansi ke luar kota

“Terbatasnya pasokan di pasar ritel membuat para penyewa cenderung melakukan rezoning dan repositioning untuk meningkatkan pengunjung, ketimbang menaikkan harga sewa,” ujar James Austen selaku Head of Retail.

“Akibatnya, untuk meningkatkan aktivitas bisnis, para tenant merambah beberapa kota di luar Jakarta seperti Mal @ Alam Sutera dan Summarecon mal Serpong yang ada di Tangerang Selatan, hingga AEON Mal yang nantinya akan dibangun di kawasan Bogor.” Tambahnya.

Langkanya proyek kondominium mewah

Sementara itu, sektor residensial yang diwakili oleh hunian vertikal didominasi oleh peluncuran proyek yang menyasar pasar menengah dan bawah.

Awal 2016, proyek kondominium menengah atas hampir tidak ada yang diluncurkan

“Permintaan terhadap kondominium secara umum mengalami pelemahan. Jika tahun lalu rata-rata penjualannya berada pada 77 persen maka triwulan ini hanya mencapai 72 persen. Peluncuran proyek juga didominasi kelas menengah lebih tinggi dibandingkan kelas mewah karena harga yang lebih terjangkau,” ucap Luke Rowe selaku Head of Residential.

“Hal ini juga dipengaruhi oleh regulasi pajak barang mewah (super luxury tax) yang masih belum dibenahi oleh Pemerintah. Jika nantinya sudah ada kejelasan dari regulasi maka bisa dipastikan para investor akan mulai merambah sektor kondominium mewah. Saat ini rata-rata konsumen apartemen hanya datang dari pasangan muda yang mencari hunian pertamanya,” Luke mengakhiri.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya