Liputan6.com, Mamuju - Nenekku seorang pelaut tangguh ternyata bukan semata sepenggal lirik lagu anak-anak. Peradaban maritim Indonesia adalah sejarah besar bagi Nusantara. Namun, fakta itu seakan terlupakan seiring pembangunan yang selama puluhan tahun ini berorientasi ke daratan.
Salah satu bukti nyata adalah Perjanjian Allamungan Batu, dikenal pula dengan Perjanjian Luyo. Perjanjian itu diawali dengan musyawarah yang diselenggarakan di Luyo Tabasalah, sebuah kawasan di Mandar, Sulawesi Barat.
Ketua Dewan Kebudayaan Mandar Muhaimin Faisal menuturkan isi pokok perjanjian itu kesepakatan bersama untuk menjamin ketenteraman kerajaan-kerajaan persekutuan. Dalam kesepakatan itu tercantum pengaturan pertahanan kawasan.
Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajaan hulu sungai) mengemban kewajiban menangkal musuh yang datang dari arah pedalaman, sedangkan Pitu Babana Binanga (tujuh kerajaan muara sungai) bertugas menangkal musuh yang datang dari arah laut.
Advertisement
Baca Juga
Baca Juga
Persekutuan itu, lanjut Muhaimin, diibaratkan bagaikan sebuah pupil mata yang terpadu warna hitam dan putih. Perjanjian Luyo itu kemudian dikenal dengan istilah Sipamandar yang berarti saling kuat menguatkan. Suatu perjanjian yang mirip dengan perjanjian pakta pertahanan di era modern saat ini.
"Perjanjiannya mirip dengan perjanjian pakta pertahanan di era modern saat ini," kata Muhaimin seperti dilansir Antara, Minggu, 27 Maret 2016.
Advertisement
Kongres Kebudayaan
Muhaimin menyatakan, pentingnya memahami sejarah kebudayaan maritim adalah untuk merekonstruksi dinamika kebudayaan maritim di Nusantara yang pernah jaya di masa lampau, jauh sebelum kolonialisme tiba di Nusantara.
Kota-kota kerajaan yang berada di pesisir pantai wilayah Sulawesi Barat itu dulunya adalah kota-kota pelabuhan yang menjadi titik simpul perdagangan laut sekaligus tempat berkumpulnya kapal-kapal dagang dari berbagai wilayah di dunia.
Namun, perhatian pemerintah terhadap sektor kemaritiman pasca-merdeka justru minim dibanding pada sektor lainnya. Maka itu, isu kemaritiman diangkat menjadi topik utama dalam Kongres Kebudayaan Mandar yang akan digelar pada akhir Mei 2016 di Mamuju, Sulawesi Barat.
"Insya Allah, Pak Anies Baswedan direncanakan membuka secara resmi kongres kebudayaan Mandar dengan mengambil tema Kebudayaan Maritim Mandar, masa lalu, hari ini dan masa depan," kata Muhaimin.
Menurut dia, pihaknya menargetkan jumlah peserta yang akan hadir lebih dari 300 orang berasal dari beragam latar belakang pendidikan, profesi dan keahlian khususnya di bidang kebudayaan dan kemaritiman.
"Selain acara inti yakni membahas tentang Kebudayaan Maritim Mandar, di kongres mendatang juga akan diisi dengan pameran buku, literasi media, ceramah ilmiah dan pameran foto," tutur Muhaimin.
Koordinator pengarah (steering committee) Kongres Kebudayaan Mandar, Asmadi Alimuddin menambahkan tema kongres tentang kemaritiman sesuai dengan Tujuh Misi Pembangunan Nasional Jokowi-Jusuf Kalla.
Pada poin enam Visi Pembangunan Nasional Tahun 2015-2019 disebutkan akan mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional.
"Kami mengajak seluruh masyarakat, pemerintah, media massa, pihak swasta, seniman, budayawan, kalangan akademisi, penggiat dan aktivis budaya serta kalangan profesional untuk bekerjasama menyukseskan pelaksanaan kongres ini," tutup Asmadi.