Pesan Moral di Balik Renyahnya Kerupuk

Kerupuk jadi simbol rusaknya prioritas hidup.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 26 Apr 2016, 15:00 WIB
Diterbitkan 26 Apr 2016, 15:00 WIB
Pesan Moral di Balik Renyahnya Kerupuk
Inilah kerupuk terpopuler di Semarang (Liputan6.com / Edhie Prayitno Ige)

Liputan6.com, Semarang - Budayawan Semarang, Prie GS, menilai kerupuk bukan sekedar penganan pelengkap makan tanpa makna. Jika  dicermati seksama, kerupuk juga menyimpan pesan moral terkait kehidupan manusia.

Sejauh ini, menurut dia, jarang pakar gizi membahas manfaat kerupuk. Atau mungkin, barang ini cuma sedikit bermanfaat saja sehingga tak perlu ada pembahasan atasnya.

Walau kerupuk tidak dipentingkan di takaran wacana, Prie menilai kerupuk memiliki kedudukan amat sentral.

"Sebelum melar menjadi sebesar wajan, kerupuk mentah bisa kecil sekali. Saya belum pernah menemukan jenis pemekaran yang seagresif kerupuk saat sudah jatuh di bejana penggorengan," kata Prie GS dalam perbincangan dengan Liputan6.com, Selasa (26/4/2016).

Pemelaran yang dramatis itulah yang kemudian mendatangkan efek dramatik di mulut. Kerupuk  meramaikan kedudukan sayur dan nasi walau penuh menipu lidah.

"Itulah kenapa bagi pengemarnya, gabungan antar pedas dan kerupuk adalah duet maut. Menu paling sederhana sekalipun menjadi gegap gempita jika dua aksesoris ini turut serta," kata Prie GS.

Jadilah kerupuk sebagai makanan kultural karena keakraban yang terbangun di atasnya. Ia sebetulnya tidak penting, tetapi harus ada. Karena harus ada, jadilah ia penting. Kebiasaan itu turun ke dalam kenyataan.

"Pesan moralnya, di dalam kenyataan, betapa banyak mementingkan soal-soal yang tidak penting. Lalu, terjadilah kekacauan urutan antara tidak penting, penting, dan mendesak. Pertukaran tempat di antara ketiganya tinggi sekali di negeri ini," kata Prie GS.

Saat ini sangat banyak barang yang tidak penting tidak cuma diubah menjadi penting, tetapi juga ditingkatkan jadi mendesak. Salah urutan itu telah menjadi kebiasaan. Ada sebuah tata nilai yang lebih suka merangsang untuk pintar mencari sumbangan jika penuh keterlibatan warga.

Budayawan Semarang bicara tentang kerupuk (Liputan6.com/Edhie Prayitno Ige)

Contoh konkret adalah saat membangun rumah ibadah. Lebih senang musala mewah hasil "ngemis" dengan proposal, dibanding musala sederhana hasil swadaya.

"Apa jadinya jika tradisi mendahulukan sensasi ala makan kerupuk itu diam-diam ada dalam diri kita sebagai pribadi, keluarga, masyarakat, sampai negara? Apa jadinya jika seorang pengangguran lebih mendahulukan televisi cuma untuk menghibur diri ketimbang mengembangkan diri?" kata Prie GS.

Prie menandaskan, apa jadinya jika kesibukan negara ternyata bukan untuk kepentingan negara tetapi lebih untuk kepentingan politiknya sendiri. Kerupuk memang sensasional, tetapi satu soal yang disepakati: ia ramai di mulut tapi rendah di gizi.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya