Liputan6.com, Pineleng - Tuanku Imam Bonjol terus melawan kolonial Belanda meski harus diasingkan ke berbagai pelosok nusantara. Ulama besar dari Minangkabau itu menghembuskan napas terakhirnya pada 6 Nopember 1864, di sebuah desa kecil bernama Lotta, Kecamatan Pineleng, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara.
"Tuanku Imam Bonjol tidak mau menyerah pada Belanda. Dia rela diasingkan, daripada harus berhianat pada bangsanya. Hingga akhirnya dia wafat di Lotta ini," tutur Abdul Mutalib, Sabtu, 28 Mei 2016 (28/05/2016).
Perjalanan yang ditempuh dari Manado, ibu kota Provinsi Sulawesi Utara ke lokasi makam Imam Bonjol memakan waktu sekitar 30 menit dengan kendaraan bermotor. Makamnya kini dijaga oleh keturunan pengawal setia Imam Bonjol bernama Apolos Minggu. Abdul Mutalib adalah generasi kelima Apolos Minggu.
"Ibu saya Ainun Minggu (80) adalah keturunan keempat dari Apolos Minggu. Apolos ketika itu menikahi gadis Minahasa bernama Mency Parengkuan. Dari situ kemudian lahirlah keturunan-keturunan berikutnya," ujar Abdul.
Mency yang bernama lahir Wilhelmina Parengkuan adalah gadis cantik putri Mayoor Kakaskasen di Lota, Paul Frederik Parengkuan. Mendengar informasi putrinya bakal diculik para pekerja tambang, Paul memilih untuk menikahkan Menci dengan Apolos Minggu.
"Menci masuk Islam dan bernama Yunansi, yang lantas menurunkan generasi hingga sekarang ini, sudah tujuh generasi," tutur Abdul.
Dia mengatakan, dalam pengasingan itu Imam Bonjol tidak menikah. "Sehingga yang ada saat ini adalah keturunan dari pengawal yang bernama Apolos tadi," ujar Abdul.
Dari sejumlah cerita yang berkembang serta beberapa literatur, Apolos disebutkan seorang kopral yang setia terhadap Imam Bonjol. Dia sebenarnya berasal dari Maluku yang bertemu saat Imam Bonjol diasingkan ke Ambon, sebelum akhirnya dibuang dan wafat di Minahasa.
Baca Juga
Makam Imam Bonjol berada di lahan seluas 75 meter x 20 meter. Suasana di makam ini sejuk sebab terlindung pepohonan rimbun. Pusara Imam Bonjol berada dalam bangunan berbentuk rumah adat Minangkabau, berukuran 15 meter x 7 meter.
"Ini satu-satunya bangunan di Minahasa dengan model rumah adat Minangkabau. Ditambah tulisan-tulisan huruf Arab yang menghiasi bangunan ini," ujar Abdul, yang kesehariannya dipanggil Popa ini.
Pada bagian belakang bangunan makam mengalir Sungai Malalayang. Dengan menuruni sedikitnya 74 anak tangga dan jalan yang berkelok-kelok di tepian sungai, terdapat sebuah bangunan yang dulunya dipakai Imam Bonjol sebagai tempat melaksanakan salat.
"Kini tempat itu dijadikan musala bagi para peziarah yang melakukan salat. Meski memang di seberang jalan, berhadapan dengan kompleks makam juga berdiri sebuah mesjid yang dinamakan Imam Bonjol," ujar Papo.
Advertisement
Komunitas Muslim
Kini di kompleks sekitar makam Tuanku Imam Bonjol, terdapat sedikitnya 20 kepala keluarga. Merekalah yang setiap hari mengurus keberadaan makam Imam Bonjol.
"Kami semua punya garis keturunan yang sama dari Apolos Minggu. Keluarga-keluarga ini yang membentuk komunitas Islam di Lotta, dan kemudian menyebar ke Pineleng sebagai pusat kecamatan," tutur dia.
Atas jasa-jasanya, Tuanku Imam Bonjol diberikan penghargaan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973. Meski demikian, kepedulian pemerintah terhadap keberadaan makam itu sangat kurang.
"Kami keluarga yang berusaha tetap merawat dan menjaganya. Tidak ada perhatian dari Pemerintah Sulawesi utara, padahal makam ini banyak dikunjungi warga dari luar Sulawesi Utara," ujar Papo.
Untuk biaya perawatan, terdapat dua kotak amal di bagian depan makam. Meski tidak semua pengunjung yang datang memberikan sumbangan, hal itu tidak menyurutkan semangat Papo dan keluarganya untuk menjaga makam itu.
Pada era pemerintahan Gubernur Sinyo Sarundajang periode 2010-2015, sempat muncul rencana dari keluarga Imam Bonjol untuk memindahkan makam itu ke tanah kelahirannya di Sumatera Barat. Wacana itu ditentang warga, begitu pun dengan Sinyo.
Sinyo berpendapat, Imam Bonjol sudah menjadi ”orang Minahasa” karena sempat hidup di Lota, Pineleng, selama sekitar 20 tahun sebelum wafat pada 6 November 1864.
"Tuanku Imam Bonjol juga pahlawan kami. Pemerintah Provinsi Sulut sudah menganggarkan dana untuk renovasi makamnya," kata Sinyo ketika itu.
Pria pensiunan salah satu BUMN ini itu mengatakan Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatera Barat, pada 1772. Dia seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda.
Tuanku Imam Bonjol juga berperang melawan kaum adat untuk menegakkan nilai-nilai Islam, dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri pada 1803-1838.
"Ada nilai sejarah, cinta tanah air dan nilai agama yang bisa kita pelajari dan teladani dari Imam Bonjol. Melalui makam ini, nilai itu bisa selalu kita jaga," ujar Papo yang hari itu menggantikan peran ibunya yang sakit.
Advertisement