Liputan6.com, Semarang - Kejadian horor di balik pembuatan film tak hanya terjadi saat produksi tayangan horor semacam The Conjuring (2011) atau bahkan The Conjuring 2. Peristiwa gaib juga terjadi saat produksi film pendek produksi Komunitas Teh Senja berjudul Mimpi Pertiwi yang memotret realitas sosial.
Mimpi Pertiwi besutan sutradara Enggar Adibroto dari Semarang, Jawa Tengah, ini bukan film horor. Namun ketegangan dan kengerian justru terjadi saat proses shooting dan proses dubbing.
Film yang bercerita tentang persahabatan tiga anak melalui rintangan hidup ini mengambil lokasi shooting di Universitas Islam Sultan Agung Semarang. Sebagai sebuah film bertema kritik sosial, Mimpi Pertiwi seperti meledek konsep keadilan versi negara, oleh anak-anak punk.
Enggar Adibroto bercerita, saat proses pengambilan gambar, ia mengalami beberapa kesulitan. Salah satunya adalah berbedanya hasil gambar dengan hasil akting para pemerannya.
"Saya kemudian memutuskan mengambil gambar beberapa kali. Nah saat jeda pengambilan gambar itu, selalu saja kamera bergerak merekam sendiri," kata Enggar kepada Liputan6.com di Semarang, Jateng, Selasa (14/6/2016).
Baca Juga
Menganggap hal itu karena kelelahan, maka shooting dilanjutkan sampai selesai. Untuk beberapa adegan kemudian disepakati akan dilakukan dubbing.
Enggar Adibroto menyebutkan, minimnya dana memaksa mereka untuk merekam suara dengan peralatan rekam yang dipinjam dari salah satu kru yang bekerja di stasiun radio. Saat rekaman, semua didokumentasikan, maksudnya sebagai catatan di balik layar alias behind the scene.
"Saat dubbing itu kami juga mendapati peristiwa misterius," tutur Enggar Adibroto.
Horor
Kelelahan karena setiap merekam suara ada saja kesalahan, akhirnya kru beristirahat. Semua peralatan dan komputer dimatikan. Semua berkumpul di luar ruangan.
"Peralatan itu kami tinggal di dalam ruang berkaca penuh, sehingga apa pun yang terjadi kan terlihat. Saat kami makan, tiba-tiba ada suara seperti ledakan dari arah ruangan itu. Spontan kami semua menghentikan kegiatan dan menengok ke dalam ruangan berkaca itu," ujar Enggar.
Ajaib, semua peralatan yang sudah dimatikan itu mendadak menyala sendiri. Monitor komputer juga memunculkan grafik kehidupan dan kegiatan di ruangan tanpa penghuni itu. Termasuk kamera yang tiba-tiba menyala lampunya tanda sedang berfungsi.
"Tapi namanya orang Indonesia, suka ramai-ramai dan hilang takutnya kalau bersama teman. Kami malah ramai-ramai menonton peristiwa itu dari luar. Sambil tertawa cengengesan," cerita dia.
Peristiwa nyata yang semestinya menakutkan itu ternyata gagal membawa kengerian. Kengerian baru muncul saat proses editing dan menyatukan gambar, scene demi scene.
"Tiba-tiba ada gambar yang bukan hasil shooting. Ketika pemeran utama sedang dubbing, tiba-tiba ada sebuah bayangan melintas di belakangnya. Bayangan yang bergerak cepat namun terekam kamera," kata Enggar Adibroto.
Saat itu karena sedang editing sendirian, Enggar merasa ngeri juga. Bayangan yang terekam kamera itu seperti sosok yang sedang ketakutan dikejar sosok lainnya.
Enggar ingat ketika proses itu, sesungguhnya sempat ada gangguan, yakni kamera tiba-tiba mati.
"Ternyata bayangan yang lewat di belakang pemeran utama itu menabrak kamera. Terus kameranya mati. Tapi sempat terekam," kata Enggar.
Demikian pula ketika dicek hasil dubbing, pada momentum terekamnya sesosok bayangan itu, ternyata ada suara lain. Suara sosok perempuan.
"Didahului suara seperti orang terbentur sesuatu 'dhuaarr' kurang lebih empat detik. Kemudian hening. Terdengar lagi 'dhuaar' yang lebih keras dan diikuti suara jeritan keras sekali... Waaaaaa!!" kata Enggar.
Mimpi Pertiwi sebagai sebuah film pendek memang hanya diputar terbatas. Hanya sebagai pembelajaran saja. Komunitas Teh Senja sendiri sudah memproduksi beberapa film pendek. Mulai dari Mimpi Pertiwi, 1000 Kesedihan, ...yang Patah, dan juga film-film lain.
Advertisement