Liputan6.com, Semarang - Kisah polisi penjual sosis yang dikeroyok Satpol PP mengungkap sisi kelam dari razia yang rutin diselenggarakan oleh aparat penegak peraturan daerah (perda). Sebagian menuding razia itu tak lebih dari upaya mencari tambahan uang saku Lebaran.
Modusnya adalah dengan mengangkut perlengkapan para pedagang kaki lima (PKL). Mereka kemudian harus menebus sejumlah uang atau barang saat akan mengambil barang dagangan yang dirazia.
Sukahar, PKL di Jalan Pahlawan, Semarang, Jawa Tengah mengaku sudah dua kali terjaring razia Satpol PP. Selama itu pula, dia diminta untuk menebus saat akan mengambil barang-barangnya kembali.
"Enggak banyak Mas. Kadang hanya rokok, tapi pernah juga minta Rp 150 ribu ketika semua dagangan saya diangkut," kata Sukahar yang mengasong rokok itu kepada Liputan6.com, Rabu, 29 Juni 2016.
Yayuk yang berjualan pecel keliling juga pernah mengalami hal yang sama. Saat itu, dia harus berhenti karena melayani pelanggan. Namun, Satpol PP tak mau tahu. Seluruh dagangannya dibawa.
"Saya harus nebus panci dan semuanya Rp 200 ribu," kata Yayuk.
Baca Juga
Namun, Kepala Satpol PP, Endro Pudyo Martanto menolak tudingan itu. Dia menerangkan prosedur Satpol PP saat merazia pedagang kaki lima. Pada pelanggaran pertama, warga yang dianggap bandel diberi peringatan. Kedua dan ketiga baru diambil lapak, peralatan dan dagangannya.
"Untuk mengambil barang di kantor Satpol PP dengan membawa surat pernyataan dari lurah. Kita tidak memungut biaya," kata Endro.
Meski begitu, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi berjanji menelusuri tudingan pungli di balik razia yang dilakoni Satpol PP Kota Semarang. Ia mengaku beberapa kali mendengar adanya informasi itu, tapi belum pernah bisa membuktikan.
"Tenang om, siap menindaklanjuti dan menegur," kata Hendi melalui pesan BBM.
Outsourcing Satpol PP?
Selain tuduhan pungli, ada hal lain yang mengundang pertanyaan terkait Satpol PP Kota Semarang. Yakni, pernyataan Kepala Satpol PP Kota Semarang Endro PM yang mengatakan sebagian Satpol PP adalah tenaga alih daya (outsourcing).
"Masing-masing ada komandan regunya, ada yang pegawai (PNS), ada yang outsourcing tapi memakai pakaian linmas," kata Endro, beberapa waktu lalu.
Atas hal itu, anggota Komisi A DPRD Kota Semarang, Imam Mardjuki menyebutkan pernyataan Kepala Satpol PP tersebut salah kaprah.
"Itu tenaga kontrak, dengan masa kontrak setahun, bisa diperpanjang atau dihentikan," kata Imam Mardjuki, Kamis (30/6/2016).
Dia juga mengatakan, berdasarkan dokumen Rencana Kerja Anggaran Satpol PP di APBD 2016, dia tak menemukan ada anggaran untuk THR tenaga kontrak.
"Kalau tenaga kontrak, setahu saya enggak ada THR," kata Imam.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi juga ikut angkat bicara. Hendi menegaskan tidak ada Satpol PP yang merupakan tenaga outsourcing, melainkan tenaga perseorangan yang dikontrak. Ia juga mengaku telah berkali-kali menginstruksikan agar Satpol PP menghindari kekerasan saat menegakkan aturan.
"Coba utamakan komunikasi penegakkan perda. Bukan tindakannya saja. Mereka bukan tenaga outsourcing tapi tenaga perseorangan yang dikontrak. Istilahnya tenaga bantu kegiatan," kata Hendi.
Ketua DPRD kota Semarang Supriyadi menyoroti lebih dalam. Ia mengkritik perilaku Satpol PP itu sebagai upaya perlawanan birokrasi. Menurut dia, selama ini DPRD sudah banyak menghasilkan perda, namun Satpol PP tak pernah bisa menegakkan Perda itu.
"Satpol PP bergerak hanya karena pihak-pihak tertentu. Nyatanya banyak toko modern, tower ilegal, bangunan tanpa IMB, bangunan di atas saluran tanpa pencegahan," kata Supriyadi.
Advertisement