Liputan6.com, Makassar - Siswa SMKN 2 Makassar yang terlibat kasus penganiayaan guru, MAS (15) telah dikeluarkan dari sekolahnya.
Bersama ayahnya Adnan Achmad, MAS menjadi tersangka pemukulan terhadap guru arsiteknya di SMKN 2 Makassar, Sulsel, bernama Dasrul. Peristiwa ini bermula lantaran keduanya tak terima dengan teguran Dasrul yang memukul bahu MAS.
Kini MAS terancam tak bisa melanjutkan pendidikan. Organisasi guru yang mengatasnamakan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menolak memberikan ruang toleransi bagi MAS untuk dapat dididik kembali. Ditambah lagi, belum ada satu pun pesantren yang menerimanya.
"Sampai saat ini pesantren yang saya pimpin belum membuka ruang penawaran pembinaan untuk dia (MAS), apalagi melihat karakter dia (MAS) dan orangtuanya demikian," kata pemilik pondok Pesantren Darul Aman Gombara di Kecamatan Tamalanrea, Makassar, Sulsel, Iqbal Djalil kepada Liputan6.com, Jumat (19/8/2016).
Pria yang karib disapa Ustaz Ije itu menuturkan, karakter yang dimiliki MAS dan ayahnya, Adnan Achmad tak cocok menghadapi budaya belajar-mengajar di pesantren. Hal ini lantaran pukulan merupakan hal yang biasa terjadi dalam rangka pembinaan di pesantren.
"Nah, kan bisa lebih parah kalau dia (MAS) ada di pesantren, dibina demikian lalu menghubungi bapaknya dan kemudian melakukan hal yang sama, bisa jadi parah tentunya," jelas Ije.
Advertisement
Baca Juga
Ije yang juga merupakan legislator Makassar dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berharap sebagai langkah antisipasi ke depannya, semua sekolah umum yang ada di Kota Makassar bisa menerapkan mata pelajaran pesantren sebagai wadah membentuk karakter siswa agar lebih baik.
"Pesantren yang ada di sekolah umum itu nantinya tak hanya membina siswa saja, Melainkan orangtuanya juga ikut dibina agar karakter siswa dan orangtuanya baik," tutur Ije.
Berbeda dengan Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) cabang Sulsel. Organisasi yang berkecimpung dalam dunia pembelaan hak asasi manusia (HAM) itu mengajak masyarakat untuk tidak menghakimi MAS dengan sepihak.
"Apa yang terjadi saat ini tidak bisa begitu saja dijadikan alasan untuk menghancurkan masa depan MAS yang merupakan salah satu aset dan generasi penerus bangsa ini. Perlu kita ketahui bahwa masa depan bangsa ini ke depannya berada di tangan generasi muda, salah satunya MAS," kata Ketua Majelis Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Sulsel, Wahidin Kamase kepada Liputan6.com.
"Jadi marilah kita mencari solusi atas apa yang terjadi dalam dunia pendidikan kita ini, bukannya mengorbankan generasi penerus bahkan mengecam tanpa batas sehingga masa depan MAS hancur begitu saja hanya karena rasa emosi," sambung dia.
Bijak
Menurut Wahidin, seharusnya seluruh pihak, termasuk organisasi PGRI, bisa melihat dengan bijak persoalan ini. Agar tak menghukum siswa secara moril bahkan menghancurkan masa depannya untuk tidak lagi dapat melanjutkan pendidikannya formilnya di bangku sekolah.
"Apa pun yang terjadi pada anak adalah tugas kita bersama bahkan negara berkewajiban memperbaikinya, bahkan membina anak tersebut menjadi jauh lebih baik. Pendidikan bagi seorang anak itu adalah hak asasi manusia dan negara wajib memenuhinya," ucap Kordinator Institute Hukum Indonesia (IHI) Sulsel.
"Apalagi, PGRI melalui Plt Ketuanya tentu harus berpikir bijak menyikapi persoalan ini tidak boleh dengan terbawa rasa emosi lalu melakukan kriminalisasi terhadap MAS. PGRI itu merupakan wadah para pendidik yang memiliki nurani sebagai orangtua didik janganlah karena emosional kemudian menghakimi anak didik selamanya," ujar Wahidin.
Apalagi, kata Wahidin, saat ini banyak remaja nakal yang terjerat dalam dunia kejahatan, seperti begal. Menurut dia, hal itu karena sistem pendidikan saat ini masih jauh dari harapan.
"Bayangkan jika MAS tak diberi kesempatan bersekolah lagi. Lantas mau diapakan generasi penerus bangsa itu? Atau kita semua menginginkan atau membiarkan MAS melakoni dunia kejahatan karena putus asa akhirnya memelihara dendamnya?" ucap Wahidin.
Sejak ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan penganiayaan terhadap Dasrul, guru arsitek di SMKN 2 Makassar oleh penyidik Reskrim Polsek Tamalate Makassar, MAS kemudian ditahan bersama bapaknya, Adnan Achmad yang juga turut menjadi tersangka dalam kasus dugaan penganiayaan tersebut.
Dengan ditetapkannya sebagai tersangka, Adnan dan MAS melawan dengan melaporkan balik gurunya, Dasrul dalam dugaan penganiayaan dan UU Perlindungan Anak.
Laporan yang dilayangkan MAS ke Bagian Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polrestabes Makassar hingga saat ini masih dalam penyelidikan.