Cerita Wihara Tua di Samping Masjid Agung Banten

Jelang Imlek, wihara tertua di Banten itu semakin banyak dikunjungi umat Budha dari seluruh Banten.

oleh Yandhi Deslatama diperbarui 28 Jan 2017, 12:46 WIB
Diterbitkan 28 Jan 2017, 12:46 WIB

Liputan6.com, Serang - Banten memiliki wihara tertua yang dibangun berdekatan dengan Masjid Agung Kesultanan Banten. Wihara tersebut tepatnya berada di Kampung Pamarican, Desa Pabean, Kecamatan Kasemen, Kota Serang.

Wihara bernama Avalokitesvara yang berdiri sekitar 1662 Masehi dan menjadi salah satu simbol kerukunan umat beragama di bumi 'Seribu Kyai, Sejuta Santri'. Jelang Imlek, wihara itu makin ramai didatangi umat Budha dari seluruh Banten dan berbagai daerah lainnya.

"Kalau ada keramaian China, untuk orang-orang tua, tidak afdol (lengkap) kalau tidak ziarah ke makam Sultan. Udah puluhan tahun. Bisa jadi penghormatan, bisa jadi sudah menjadi keyakinan mereka," kata Tubagus (TB) Abbas Wasse, Ketua Kenadziran Kesultanan Banten, saat ditemui di kediamannya yang terletak tepat di belakang Masjid Agung Banten, Sabtu, (28/1/2017).

Di antara Masjid Agung Banten dan wihara terdapat pemakaman Belanda yang berisikan sekitar 50 nisan yang masih bisa terlihat kemegahannya. "Di dekat vihara ada juga pemakaman Belanda di situ. Di sini juga ada perumahan Cina Tiongkok. Banyak juga ditemukan keramik dari dinasti Ming, dinasti Ching," kata dia.


Jelang Imlek, wihara tertua di Banten itu semakin banyak dikunjungi umat Budha dari seluruh Banten. (Liputan6.com/Yandhi Deslatama)

Berdasarkan informasi yang dihimpun, Vihara Avalokitesvara pernah mengalami perpindahan ke beberapa lokasi. Pada 1659, wihara itu menempati Loji Belanda sebelum kemudian pindah pada 1725 ke bagian selatan menara Masjid Pecinan Tinggi.

Terakhir, wihara tertua itu menempati lokasi sekarang pada 1774 Masehi. Keberadaan wihara itu tak lepas dari kedatangan putri Cina bernama Ong Tin Nio bersama anak buahnya yang berlayar hendak menuju Surabaya.

Sang putri kemudian memutuskan bermalam di Pamarican yang dikenal sebagai daerah penghasil merica. Namun karena betah, Putri Ong Tin tinggal di Banten lebih lama hingga mendirikan wihara. Wihara itu awalnya berlokasi di bekas kantor bea.

Namun, keberadaannya mengusik warga hingga Sunan Gunung Jati dari Cirebon turun tangan. Belakangan, sang putri dinikahi Sunan Gunung Jati dan pindah ke Cirebon. Ia juga memutuskan menjadi mualaf. Jelang Imlek, wihara tertua di Banten itu semakin banyak dikunjungi umat Budha dari seluruh Banten. (Liputan6.com/Yandhi Deslatama)

Dalam versi lainnya, kedatangan masyarakat Tiongkok ke Banten terjadi sekitar abad 17 masehi dengan bukti pada abad tersebut, banyak ditemukan perahu Cina yang berlabuh di Banten dengan tujuan berdagang dan barter dengan lada.

Berdasarkan catatan sejarah dari JP Coen, banyak perahu China yang membawa dagangan senilai 300 ribu real. Belakangan, masyarakat Cina tak hanya berdagang, tapi bermukim di Banten dengan lebih dari 1.300 kepala keluarga (KK).

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya