Warga Blokir Jalan, Pekerja Pabrik Semen Diduga Bakar Musala

Musala milik warga dibakar pekerja karena warga menutup akses ke pabrik semen.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 11 Feb 2017, 14:06 WIB
Diterbitkan 11 Feb 2017, 14:06 WIB
rembangblokir2
Musholla dan isinya termasuk Al Quran dan peralatan sholat dibakar pekerja pabrik semen, Jumat (10/2/2017) malam. (foto : @omahekendeng / edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Semarang Sebuah musala di Rembang, Jawa Tengah dibakar warga. Pembakaran diduga dilakukan para pekerja dari PT Semen Indonesia. Aksi ini dipicu pemblokiran jalan oleh warga di depan pabrik semen tersebut, Jumat, 10 Februari 2017.

Aksi blokir jalan dilakukan setelah putusan kasasi Mahkamah Agung dan penerbitan Surat Keputusan (SK) Gubernur Jateng No 6601/4 Tahun 2017 tanggal 16 Januari 2017 tentang Pencabutan Keputusan Gubernur Nomor 660.1/ 30 Tahun 2016,tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan Bahan Baku dan Pembangunan serta Pengoperasian Pabrik Semen PT Semen Indonesia (Persero) Tbk, yang mengharuskan PT Semen Indonesia menghentikan kegiatan pembangunan pabrik semen di Desa Kadiwono Kecamatan Bulu Kabupaten Rembang.

Awalnya, pemblokiran jalan dilakukan secara sederhana, yakni memasang batang bambu dan ibu-ibu berdiri menjaga bambu yang dipasang menyilang itu. Aksi berlangsung damai dan dijaga petugas Polres Rembang.

Menurut Marno, salah satu warga, mereka memblokir jalan masuk karena meskipun izin sudah dicabut namun masih ada aktivitas di area pabrik itu. Jika PT Semen Indonesia tbk yang menaungi Semen Rembang taat hukum, tentu mereka akan menghentikan semua kegiatan setelah izin dicabut.

"Warga akan membubarkan diri jika PT Semen Indonesia konsisten dengan keputusan hukum. Sebaliknya, blokade akan terus dilakukan jika PT Semen Indonesia tidak konsisten menaati hukum. Karena yang melanggar hukum, yang ilegal itu mereka," kata Marno.

Warga berharap seharusnya semua taat hukum. Sesuai aturan, jika izin lingkungan dicabut maka tidak ada kegiatan apa pun dilakukan.

Sementara itu Sekretaris PT Semen Indonesia, Agung Wiharto mengaku bahwa pasca izin dicabut, tidak ada aktivitas kontruksi apa pun yang dilakukan oleh pekerja di dalam pabrik. Yang dilakukan para pekerja di lokasi hanya melakukan perawatan dan pengamanan lokasi saja. "Tak ada aktivitas," kata Agung singkat.

 

Warga Protes ke Polisi

Warga Protes ke Polisi

Aksi berlangsung damai hingga usai. Namun warga dikejutkan oleh kedatangan lebih dari 40 orang pada malam harinya. Beberapa di antaranya adalah warga setempat yang bekerja di pabrik semen itu. Menurut Joko Prianto, salah satu warga, orang-orang itu mendatangi tenda yang didirikan warga dan digunakan untuk istirahat ibu-ibu.

"Kejadian jam 19.50. Tiba-tiba mereka berteriak memaksa warga yang sedang berada di dalam tenda untuk keluar dan meninggalkan tenda, mengancam akan merobohkan tenda dan membakar tenda. Alasannya mengganggu pekerjaan mereka di PT Semen Indonesia. Tak ingin ada kekerasan, ibu-ibu kemudian keluar tenda," kata Joko kepada Liputan6.com, Sabtu (11/2/2017).

Setelah ibu-ibu keluar, orang-orang itu kemudian membongkar portal bambu yang digunakan untuk memblokir jalan, membongkar dan merobohkan dapur dan tenda perjuangan tolak pabrik semen. Ditambahkan Joko, diantara pelaku itu ada yang dikenal warga dan bekerja di pabrik semen itu.

Sekitar lima menit kemudian, mereka mengangkat musala yang berisi mukena, sajadah, peci dan kitab suci Al Quran. Musala itu diangkat ramai-ramai karena terbuat dari kayu dan berbentuk rumah panggung, sehingga tanpa pondasi.

"Semua dikumpulkan di satu titik kemudian dibakar. Termasuk musala dan isinya," kata Joko.

Melihat kejadian itu, warga kemudian melapor dan protes kepada para polisi yang berjaga di area pabrik. Mereka mempertanyakan aksi pembongkaran dan pembakaran musala dan pembakaran Alquran itu.

"Polisi yang berjaga mengaku tak mengetahui peristiwa itu. Padahal jaraknya dekat dan suasana gaduh terdengar hingga ratusan meter," kata Joko.

Atas pembakaran tenda dan musala serta Alquran itu, rencananya warga hari ini, Sabtu (11/2/2017) hendak ke Mapolda Jateng di Semarang untuk melapor. Menurut mereka persoalan menjadi meluas, bukan lagi persoalan lingkungan, tapi juga penghinaan terhadap agama.

"Harus diakui, ini bagi kami termasuk menghina kami. Tempat di mana kami biasa beribadah tiba-tiba dibakar. Sama saja itu menghalangi kami untuk beribadah," kata Joko.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya