Pagi Hening di Pasar Tua Saksi Bisu Kemerdekaan Indonesia

Pasar yang menjadi saksi bisu pergerakan kemerdekaan Indonesia itu hanya aktif saat Wage.

oleh Yanuar H diperbarui 14 Feb 2017, 06:04 WIB
Diterbitkan 14 Feb 2017, 06:04 WIB

Liputan6.com, Yogyakarta - Matahari pagi bersinar dengan terangnya di kaki Gunung Merapi itu. Namun, Pasar Srowolan yang berada di daerah Srowolan, Purwobinangun, Pakem, Sleman, itu masih saja sepi dan hening. Hanya beberapa warga yang bersantai di tempat saksi bisu pergerakan kemerdekaan Indonesia itu.

Haryanto (60), warga Srowolan, Sleman, mengatakan saat ini pedagang pasar itu tidak lebih dari lima orang. Itu pun hanya muncul di saat pasaran Wage -hitungan waktu tertentu di penanggalan Jawa.

"Dulu legi, pon, wage, sekarang tinggal wage dengan pedagang paling banyak lima orang. Udah sepuh-sepuh ada dari Turi, satu Tempel, satu Randu Songo, terus Ngentak dukuh," ujar Haryanto di lokasi, Jumat, 10 Februari 2017.

Haryanto mengisahkan Pasar Srowolan dibangun oleh Belanda sekitar 1921. Seluruh bangunan mulai dari atap, lantai, pilar-pilar los masih terjaga orisinalitasnya. Bahkan, masih terlihat tulisan Belanda di salah satu bagian los pasar.

Menurut Haryanto, dahulu Pasar Srowolan menjadi pasar utama di sekitar Pakem. Bahkan, lokasi berjualannya bisa mencapai luar kampung. Pedagangnya waktu itu tidak hanya dari dalam Pakem tapi juga sampai Jawa Tengah.

"Sekitar tahun 90-an mulai turun pedagang. Yang jual malah jauh-jauh dari Manis Renggo Klaten, Sayegan, Nggowar Magelang, Kaliurang. Lalu Manis Renggo itu jual tikar sama alat buat tikar dan suruh yang buat nginang," ujar dia.

Haryanto menjelaskan, saat itu keriuhan pasar tidak hanya karena ada pedagang dan pembeli, tetapi juga karena ada warga yang bernazar dengan menggelar atraksi kesenian di pasar ini. Midang juga berlaku kepada mereka yang bernazar jika sembuh dari sakitnya atau mencapai sesuatu yang dicita-citakan.

Keriuhan itu masih terekam di ingatan Haryanto. Saat itu, ia berhasil meraih salah satu makanan yang disediakan orang yang bernazar atau midang. Masyarakat sekitar mengenal midang sebagai sesuatu janji yang harus dilakukan dengan membawa hewan piaraannya.

"Tahun 1921 dibangun masa perjuangan. Tahun 60-an ramai. Setiap jumat wage mesti ada Jathilan sholawat angguk. Midang atau nazar itu jadi sapi atau kebo dibawa ke sini. Ada yang dibelikan kupat, slondok atau pisang dikalungkan ke leher lembu yang tadi. Disediakan untuk warga yang ambil," tutur Haryanto.

Midang itu kini tak pernah dilakukan karena pasar sudah sepi. Maka itu, generasi muda tidak lagi mengetahui apa itu midang.

"Midang yang punya rojokoyo sapi, kuda, kambing, dibawa ke sini buat kesehatan binatang dan kerja. Kalau sudah pasrah juru kunci beli umbo rampe sesaji, terutama kupat. Kalau sudah dikabulkan boleh ambil," ujar dia.

Senjakala Pasar Srowulan

Haryanto menerangkan Pasar Srowolan mulai senyap di tahun 90-an. Saat itu, Pasar Pakem yang berada di Pinggir jalan Kaliurang mulai tumbuh dan besar, ditambah munculnya Pasar Turi tidak jauh dari lokasi. Selain itu, tidak ada lagi sarana transportasi yang lewat depan Pasar Srowolan.

"Tahun 90-an mulai sepi ya karena ada Pakem dan Turi terus sekarang sepi kayak gini," ujar dia.

Margono, warga Srowolan lainnya, mengaku mulai sepinya Pasar Srowolan itu sejak robohnya pohon beringin terbesar yang terkenal angker. Saat itu, ada tiga pohon beringin yang berada di timur pasar.

"Beringin yang roboh paling besar di timur pasar, terus habis pedagangnya. Lalu tahun 98, Sultan HB X nanam Ringin Rejo putih tapi nggak hidup. Anehnya, pas nggilingke beras di bawah pohon beringin, berasnya nggak keluar. Terus pas pindah, baru keluar itu berasnya," kata Margono.

Keheningan pasar peninggalan zaman kemerdekaan itu kini semakin intens. Namun, Pasar Srowulan bakal tetap dipertahankan. Hal itu karena pasar itu kini menjadi bangunan cagar budaya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya