Liputan6.com, Palembang - Impian Ratni (53) melihat anaknya Jumaidi Kasiran Tasmin (34) sukses meniti karir di China sudah lama pupus. Sang anak yang tersandung kasus penyelundupan narkoba pada 2014 ini bahkan sudah tidak diketahui lagi kabarnya.
Warga Jalan Ki Marogan Lorong Yakin RT 11, RW 3, Kelurahan Kemas Rindu, Kecamatan Kertapati Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel) ini hampir putus asa mencari tahu keberadaan sang anak.
Dari informasi terakhir yang didapatkannya, anaknya ditangkap di Bandara Guangzhou China setelah petugas bandara mendapati satu paket narkoba jenis sabu seberat 2,2 kilogram di dalam tasnya.
Advertisement
Ratni menceritakan sekitar Maret 2014, Jumaidi mendapatkan tawaran dari seorang berinisial A untuk bekerja di perusahaan barang antik di Kamboja. A menjanjikan upah sebesar Rp 11 juta per bulan.
Dari informasi yang dihimpun, A diduga merupakan anak salah satu pejabat Majelis Ulama Indonesia (MUI) di Palembang.
"A mengaku kalau dia yang punya perusahaan tekstil di Kamboja itu. A dan R itu sudah lama kenal dengan anak saya," kata Ratni kepada Liputan6.com, Jumat (31/3/2017).
Setelah dokumen keberangkatan diurus R, pada Juni 2014, Jumaidi akhirnya berangkat ke Kamboja. Setelah dua minggu di Kamboja, Jumaidi baru mengabari orangtuanya jika kondisinya baik-baik saja.
Namun pada 30 Juni 2014, Ratni menerima kabar dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Guangzhou melalui Direktorat Perlindungan Warga Negara Indonesia (WNI) dan Badan Hukum Indonesia (BHI) bahwa anaknya ditangkap karena kasus penyelundupan narkoba.
"Pihak KJRI juga sudah menjenguk Jumaidi di penjara Guangzhou, anak saya mengaku kalau itu dia dijebak," ujar Ratni.
Ratni juga mendapatkan sepucuk surat dari Jumaidi berisi kisahnya yang diduga dijebak oleh Reza dan Anis. Ada juga surat dari seorang pengacara melalui KJRI yang akan membela nasib sang anak.
Namun, dalam surat tersebut, sang pengacara meminta imbalan sebesar Rp 150 Juta jika ingin menjadi kuasa hukum Jumaidi.
Setelah membaca surat itu, Ratni berusaha meminta bantuan kepada R dan A. Setelah mendengar keluh kesah Ratni, mereka langsung lepas tangan dan tidak mau bertanggung jawab.
"A menolak membayar pengacara tersebut, katanya tidak ada uang. Padahal, mereka yang menyuruh Jumaidi berangkat ke sana. Lalu kami diusir dari rumahnya," kata dia.
Â
Ditolak Pemerintah
Ratni nyaris menggadaikan rumahnya yang hanya berukuran 3x4 meter persegi dan beratapkan seng. Rencananya, uang hasil gadai rumah akan digunakan untuk mebayar pengacara tersebut. Namun karena tidak ada tempat tinggal lain, akhirnya Ratni mengurungkan niatnya tersebut.
Ratni sekeluarga juga pernah mencoba meminta bantuan kepada Gubernur Sumsel Alex Noerdin dan Wali Kota Palembang Harnojoyo. Bahkan, mereka sekeluarga berjalan kaki menuju kantor Gubernur Sumsel di Jalan Kapten A Rivai Palembang.
Namun sesampai di sana, mereka tidak dihiraukan oleh petugas kantor Gubernur Sumsel. Sama halnya juga saat mereka mencoba mengeluh ke Wali Kota Palembang, tidak ada yang menghiraukannya.
Mereka mencoba berkonsultasi ke kantor Badan Narkotika Nasional (BNN) Sumsel di bilangan Jakabaring Palembang. Namun, yang diterima hanyalah penolakan dan makian.
"Mereka memarahi kami, katanya bukan urusan mereka. Padahal, kami jalan kaki ke tiga tempat itu, karena memang tidak ada uang," ungkap Ratni.
Ratni sekeluarga lalu berusaha mendatangi kantor salah satu media massa di Palembang. Lagi-lagi, keberadaan mereka diabaikan dan pihak media massa tersebut menolak memberitakan nasib anaknya.
Keluarga Jumaidi pun nyaris ditipu oleh seseorang yang mengaku wartawan. Wartawan gadungan itu meminta uang sebesar Rp 500 ribu untuk satu kali penerbitan berita. Sang anak lalu menenangkan Ratni dan akhirnya mereka menolak kerja sama yang diajukan LSM tersebut.
Hingga saat ini, Ratni sekeluarga tidak tahu bagaimana kabar Jumaidi di China, apakah masih hidup atau sudah meninggal. Mereka putus asa dan tidak tahu lagi akan mengadukan kasus ini ke siapa.
Â
Advertisement