Liputan6.com, Makassar - Warga bersama elemen mahasiswa menggelar aksi menduduki Jalan Tol Reformasi, Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), Rabu (19/7/2017). Aksi yang berlangsung selama empat jam itu akhirnya berujung ricuh.
Aksi blokade Jalan Tol Reformasi, Makassar, itu berujung kericuhan setelah warga bersama mahasiswa enggan menerima tawaran damai dari pihak kepolisian yang berharap aksi dihentikan lantaran mengganggu ketertiban umum. Aparat kepolisian akhirnya menangkap 12 aktivis mahasiswa dalam aksi yang berujung ricuh atau bentrok tersebut.
Wakapolrestabes Makassar, AKBP Hotman Sirait, mengatakan polisi terpaksa melakukan upaya pembubaran paksa karena aksi tersebut tidak berjalan sesuai penyampaian yang ada dan mengganggu ketertiban umum.
Baca Juga
"Aksi penutupan jalan tol ini dibubarkan paksa karena tidak sesuai Standar Operasional dan Prosedur (SOP) yang berlaku tentang aturan menyampaikan pendapat atau aspirasi," ucap Hotman.
Namun, menurut dia, polisi tidak mencampuri persoalan hukum yang ada mengenai lahan tersebut.
Adapun Panglima Gerakan Aktivis Mahasiswa (GAM) yang bertindak sebagai kordinator aksi, Denny Abiyoga, mengatakan aksi menduduki ruas Jalan Tol Reformasi, Makassar dilakukan warga bersama mahasiswa setelah keluarnya Fatwa Mahkamah Agung (MA) RI.
Advertisement
Saksikan video menarik di bawah ini:
Fatwa MA
Fatwa MA ini menjawab permohonan yang diajukan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengenai pemberian penjelasan terhadap putusan perkara pengadaan tanah Jalan Tol Reformasi, Makassar atas nama Intje Koemala kepada Mahkamah Agung (MA) RI tertanggal 18 Agustus 2016.
Denny menjelaskan, dalam surat penjelasannya bernomor 1572/PAN/HK.01/5/2017, MA menegaskan bahwa dia tidak dapat memberikan jawaban atau pandangan hukum atas permasalahan hukum yang terkait putusan pengadilan ataupun perkara yang sedang ditangani atau potensial menjadi perkara di pengadilan.
Namun, pendapat hukum MA hanya diberikan oleh majelis hakim dalam putusan yang mengadili perkara pada tingkat kasasi atau peninjauan kembali terhadap putusan badan-badan peradilan di bawahnya yang dipandang tidak benar dan tidak adil.
Ia menambahkan, terakhir Menteri PUPR beralasan tak mau memberikan sisa pembayaran uang ganti rugi lahan kepada ahli waris pemilik lahan Intje Koemala versi Chandra Taniwijaya. Alasannya, pihaknya sedang menunggu Fatwa MA.
"Nah, sekarang sudah ada jawaban, tapi apa lagi jadi alasan Menteri PUPR tak berikan hak kami," kata Denny kepada Liputan6.com, Rabu (19/7/2017).
Ia pun menyayangkan sikap Menteri PUPR Basuki Hadimuljono sebagai pimpinan Kementerian PUPR yang dianggap tidak mematuhi hukum dan merampas hak warga miskin dalam hal ini pemilik lahan yang lahannya dijadikan sebagai jalan tol. Namun, sisa uang ganti rugi pembebasan lahannya tak diberikan hingga memakan waktu hampir 17 tahun digantung.
"Padahal jelas dalam amar putusan di tingkat Peninjauan Kembali yang diputuskan oleh MA tepatnya putusan MA bernomor 117/PK/Pdt/2009 yang telah berkekuatan hukum tetap dengan tegas menolak permohonan PK yang diajukan oleh Kementerian PUPR dan memerintahkan agar segera membayar sisa uang ganti rugi lahan kepada ahli waris pemilik lahan Intje Koemala versi Chandra Taniwijaya sebesar Rp 9 miliar lebih," ia menerangkan.
Advertisement
Dugaan Rekayasa Putusan
Denny pun membeberkan alasan Kementerian PUPR, sehingga bersikukuh tak ingin memberikan uang sisa ganti rugi lahan kepada ahli waris Intje Koemala versi Chandra Taniwijaja meski putusan MA sifatnya telah mengikat.
Di mana, kata dia, Kementerian PUPR berdalih ada dua putusan yang berbeda terkait perkara pengadaan lahan Tol Reformasi, Makassar, yakni putusan MA bernomor 177/PK/Pdt/2009 yang memenangkan ahli waris Intje Koemala versi Chandra Taniwijaya dan Putusan MA bernomor 266/PK/Pdt/2013 yang dikatakan memenangkan pihak lain bernama Ince Baharuddin dan Ince Rahmawati. Atas dasar itu, Kementerian PUPR mengajukan permohonan fatwa kepada MA dan berharap ahli waris pemilik lahan sah Intje Koemala versi Chandra Taniwijaya bersabar menunggu fatwa.
Padahal, menurut Denny, pada kedua putusan MA tersebut semuanya berpihak kepada ahli waris pemilik lahan Intje Koemala versi Chandra Taniwijaya.
"Kedua dokumen asli putusan kan kita punya dan pada keduanya berpihak pada ahli waris Intje Koemala versi Chandra Taniwijaya. Jadi kuat putusan MA Nomor 266/PK/Pdt/2013 amarnya telah diubah atau dipalsukan. Ini kan sudah pidana putusan MA bunyi putusannya diubah atau dipalsukan jelas ini mafia hukum," ujar Denny.
Denny menerangkan pada putusan MA bernomor 266/PK/Pdt/2013, di mana Ince Baharuddin dan saudaranya Ince Rahmawati selaku pemohon PK menggugat ahli waris pemilik lahan Intje Koemala versi Chandra Taniwijaya selaku termohon PK. Dan putusannya, MA menyatakan menolak permohonan PK dari para pemohon PK, yakni Ince Baharuddin dan Ince Rahmawati, serta menghukum para pemohon PK untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan PK senilai Rp 2.500.000.
Demikian juga pada putusan MA 177/PK/Pdt, lanjut dia, di mana dalam putusannya MA dengan tegas menolak permohonan PK oleh Kementerian PUPR atas ahli waris Intje Koemala versi Chandra Taniwijaya selaku termohon PK serta menghukum pemohon PK (Kementerian PUPR) untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan PK sebesar Rp 2.500.000.
"Jadi ke mana lagi ahli waris pemilik lahan mengadu. Tinggal pengadilan Tuhan tidak tempuh. Semuanya sudah dijalani dan berkekuatan hukum tetap dan diperkuat lagi dengan Fatwa MA. Presiden Jokowi hukum Menteri PUPR yang telah menyengsarakan masyarakat miskin," kata Denny.
Sisa Uang Ganti Rugi
Gerakan Aktivis Mahasiswa (GAM), ucap Denny, telah turun bersama warga membantu ahli waris pemilik lahan untuk mendapatkan haknya dalam hal ini sisa uang ganti rugi lahannya yang dibebaskan menjadi Jalan Tol Reformasi, Makassar, sejak tahun 2001.
"Kami perlu luruskan ini bukan aksi penutupan jalan tol, tapi aksi mengambil kembali lahan milik ahli waris yang dimanfaatkan sebagai jalan tol. Sementara, uang ganti ruginya tak dibayar rampung, melainkan hanya dibayar 1/3 saja," dia menegaskan.
Menurut Denny, total lahan milik ahli waris yang dimanfaatkan sebagai Jalan Tol Reformasi, Makassar, seluas 12 hektare lebih, di mana lahan yang baru terbayarkan oleh Kementerian PUPR seluas dua hektare lebih.
"Sisa pembayaran lahan yang belum dibayarkan itu senilai Rp 9,24 miliar lebih. Sementara yang sudah dibayarkan pada tahap pertama tahun 1998, yakni sepertiga lahan seluas dua hektare lebih senilai Rp 2,5 miliar kala itu. Total lahan digunakan tol sekitar 12 hektare lebih," tutur dia.
Selama Kementerian PUPR tak menyerahkan uang sisa ganti rugi lahan kepada ahli waris, maka GAM dan warga akan tetap bertahan. "Kami akan tetap bertahan sampai sisa uang ganti rugi yang merupakan hak ahli waris ada di tangan. Selama itu tak ada kami akan tetap duduk di atas lahan yang dimanfaatkan sebagai jalan tol ini," ia memungkasi.
Saksikan Video menarik Berikut Ini: