Liputan6.com, Pangkep - Basran, remaja 19 tahun warga Pulau Matalaang, Desa Sabalana, Kecamatan Sapukang, Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep), Sulawesi Selatan (Sulsel), kini telah meninggal dunia.
Penyakit tifus yang diderita Basran menjadi alasan kondisinya tak bisa bertahan. Hanya sempat dirawat beberapa hari di puskesmas, Kecamatan Wera, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Basran akhirnya meninggal dunia.
Apa yang dialami Basran merupakan salah satu potret kehidupan yang sangat miris. Ia tak ada pilihan menembus ganasnya laut lepas selama 12 jam, hanya menggunakan kapal kayu kecil yang disebut katinting menuju Kecamatan Pai Wera, Bima, NTB, demi mendapatkan bantuan pengobatan.
Basran yang dalam kondisi terbaring lemas dan ditutupi selimut tipis menerjang tingginya gelombang laut Selat Makassar menuju Kabupaten Bima. Selama dalam perjalanan, ia hanya berdua dengan bapaknya yang berperan menjalankan perahu katinting.
Baca Juga
Setelah sehari semalam perjalanan, mereka tiba di Kecamatan Wera, Bima. Basran langsung dirawat di Puskesmas Pai Wera. Sementara, bapaknya turut juga diinfus karena mengalami kelelahan selama dalam perjalanan.
"Mereka lebih memilih ke Bima ketimbang menuju Kota Pangkep, Sulsel. Selain karena jarak ke daratan Kota Pangkep lebih jauh, mereka juga takut tak langsung terlayani karena tak ada Kartu Indonesia Sehat maupun BPJS. Ia hanya punya KTP," ucap Ridho, seorang warga Kabupaten Pangkep, Sulsel, Minggu (6/8/2017).
Apa yang dialami Basran, menurut Ridho, bahkan menjadi viral di media sosial Facebook. Perjuangan Basran menembus ganasnya laut menuju Kabupaten Bima hanya mengandalkan perahu katinting demi mendapatkan bantuan pengobatan.
Namun, nyawa Basran tak tertolong karena sakit tifus berat yang dialaminya. Meninggalnya remaja asal Pulau Matalaang, Pangkep itu membuat banyak orang menangis dan miris.
Advertisement
Saksikan video menarik di bawah ini:
Antarkan Jenazah Anak dengan Infus di Tangan
"Yang lebih menyayat hati kita, di mana bapaknya yang masih dalam kondisi tangan terinfus tetap ikhlas dan sabar membawa pulang jenazah anaknya," tutur Ridho sembari menitikkan air mata ketika menceritakan kisah Basran itu.
Ia menambahkan, ayah Basran kembali ke rumahnya di Pulau Matalaang, Pangkep, dengan perahu katinting yang sama saat awal ia berjuang menerobos laut lepas menuju Bima, NTB.
Selama perjalanan pulang, ayah Basran dengan tabah dan fokus mengendalikan katinting mengawal jenazah anaknya hingga sampai ke rumahnya. Infus yang menancap di tangannya dan kondisi lelah tak menjadi sedikit pun hambatan untuk melewati tingginya gelombang laut perairan Bima menuju Pulau Matalaang, Pangkep.
Adapun selama dirawat di Bima, Basran sempat mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Bantuan itu muncul setelah adanya kepedulian warga Wera, Kabupaten Bima dan postingan beberapa akun di media sosial atau medsos terkait kondisi yang dialaminya.
Bantuan ala kadarnya pun terkumpul di antaranya dalam bentuk uang tunai yang dialokasikan untuk pembelian obat-obatan yang dianggap dibutuhkan. Sebab, Puskesmas Wera belum mempunyai fasilitas dan obat obatan yang memadai. Alhasil, pengobatan Basran tidak maksimal dan terbatas.
Kondisi Basran semakin kritis, pihak Puskesmas Wera sempat ingin merujuknya ke Rumah Sakit PKU Muhammadiyah, Bima. Namun, keluarga Basran menolak karena alasan tidak ada biaya, serta tak ada satu pun keluarganya di Bima.
"Mereka menolak karena takut kesasar karena mereka baru pertama kali ke Bima, meskipun sudah kami bujuk. Tapi, keluarganya sudah pasrah, cukup dirawat di Puskesmas Wera saja pintanya," ujar Vetty Rahmawari Rusdi, salah seorang dokter di RS PKU Muhammadiyah, Bima.
Advertisement