Liputan6.com, Yogyakarta - Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai putusan MK yang mengabulkan gugatan uji materi Pasal 18 Ayat 1 huruf m UU Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Hal itu berdampak pada laki-laki maupun perempuan yang bertakhta di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogya sekaligus menjadi Gubernur DIY.
Lembar putusan MK menyatakan pasal itu bertentangan dengan UUD 1945 sebab memuat riwayat pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak. Sebagian kalangan menganggap pasal itu kontroversial karena diskriminatif dan menyiratkan makna hanya laki-laki yang bisa menjadi Gubernur DIY (ditunjukkan dengan riwayat istri).
Gugatan uji materi atas pasal itu diajukan 11 orang yang berasal dari kalangan abdi dalem Keraton Yogyakarta, perangkat desa, penggiat antidiskriminasi, dan hak asasi perempuan, serta aktivis perempuan ke MK pada 2016.
Baca Juga
"Harus diikuti (putusan MK), jangan kontroversi lagi," ucap Mahfud MD, Senin, 4 September 2017.
Mahfud menilai, sikap MK sudah benar, tidak mencampuradukkan urusan pemerintahan dengan Keraton Yogyakarta. "Urusan internal keraton tentang siapa yang menjadi sultan itu hak keraton sebagai badan hukum," ia menambahkan.
MK, menurut Mahfud, hanya memutuskan laki-laki maupun perempuan bisa menjadi Gubernur DIY, sedangkan penentuan raja yang bertahta merupakan kewenangan keraton.
Mahfud mengatakan pula, hal yang diperlukan saat ini adalah persiapan teknis dan administratif karena harus menyesuaikan dengan keputusan MK. "Misal formulir yang menyebut istri harus ditulis istri atau suami," kata Mahfud MD.
Advertisement
Saksikan video menarik di bawah ini:
Kata Sultan HB X
Terkait putusan MK, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X mengatakan negara memiliki konstitusi yang melarang diskriminasi. "Negara tidak melarang, siapa saja bisa jadi pemimpin," ujarnya, Kamis, 31 Agustus 2017.
Karena itu, ia berharap semua pihak yang menentang pengajuan uji materi ini bisa menerima dengan lapang dada. Terkait paugeran baru, Sultan enggan berkomentar. Ia menilai paugeran hak raja yang bertakhta.
"Ini kan soal gubernur," ucapnya.
Adapun kuasa hukum pemohon, Irmanputra Sidin, mengapresiasi putusan MK yang memberi basis hukum yang kokoh.
"Siapa pun itu, baik perempuan atau laki-laki, adalah berhak memimpin, berhak menjadi raja dan bagian dari urusan internal kasultanan dan kadipaten," ujarnya dalam siaran pers kepada wartawan.
Ia menilai putusan MK merupakan cerminan manifestasi perlindungan hak-hak setiap orang di muka bumi ini tanpa harus mendiskriminasi kaum perempuan atau lainnya untuk menjadi raja, ratu, sultan, sultanah, Arung (Bugis), Butta (Makassar), kaisar, dan seterusnya.
Kejadian ini, tutur Irmanputra, membawa pesan penting bagi perkembangan konstitusi dan konstitusionalisme di seluruh dunia, yakni tidak ada lagi monopoli laki-laki dalam dunia kepemimpinan di Indonesia.
Advertisement