Liputan6.com, Bandung - Ekonom dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Anggoro Budi Nugroho, mengapresiasi segenap upaya yang sudah dilakukan Pemerintah Kota Bandung dalam mengelola Kota Kembang selama ini. Dengan nakhoda Wali Kota Ridwan Kamil, dia mencatat ada kelebihan dan kekurangan dalam membangun Bandung.
Dia menilai Bandung dirancang dengan tata kota yang estetik. Dari sisi sosial budaya, atmosfer keragaman dan toleransi di Bandung juga kuat.
"Pemimpinnya juga kekinian, gaul, populer di kalangan anak muda, eksis di Twitter, Instagram, dan sebagainya," kata Pengajar di Sekolah Bisnis dan Manajemen ITB ini dalam penjelasan tertulisnya.
Advertisement
Baca Juga
Namun dalam catatannya, sejauh ini terlalu banyak predikat yang hendak dicapai Bandung. Sebenarnya hal itu baik-baik saja, tapi masalahnya tolok ukur tidak jelas, akibatnya kurang fokus.
"Bandung overbranded, ada Smart City, Creative City, dan sebagainya, seolah-olah semua hendak dicapai," ujarnya.
Catatan lain, lanjut Anggoro, upaya pembangunan tidak dibarengi dengan kemampuannya menunjukkan hasil pembangunan yang bersifat sistem. Mesin parking meter misalnya, tidak berfungsi sampai hari ini, padahal sudah terpasang.
Contoh lain, lampu lalin di simpang Asia Afrika dengan tombol penyeberang jalan yang hendak meniru sistem negara-negara maju juga tidak berfungsi. Anggoro menambahkan, ada juga pengembangan command room, tapi warga juga tidak tahu karena sosialisasi call centernya tidak ada.
Bus Trans Bandung juga tidak berfungsi optimal. Shelter tidak berjalan padahal dibangun dan terabaikan meski menghabiskan anggaran.
"Alasannya duit ngan sakitu (anggaran tidak cukup). Padahal APBD Bandung Rp 6 triliun lebih," kata Anggoro.
Dia membandingkan dengan Yogyakarta yang APBD-nya Rp 700 miliar pada 2007 saat merancang Trans Jogja. Pengoperasian Trans Jogja juga dibarengi dengan eliminasi angkot dan bis kota lama.
"Sementara Bandung tidak, sehingga hadirnya bus tidak mengurangi kemacetan. Karena membubarkan angkot, butuh keberanian," katanya.
Terkait penertiban, belum juga ada keberanian menertibkan pedagang kaki lima, misalnya di sepanjang Otista, belakang RSHS, Jl. ABC. Padahal daerah itu lebih membutuhkan penataan dan penertiban dibandingkan kawasan Dago yang memang sudah indah sejak era Belanda.
Saksikan video pilihan di bawah ini: