Liputan6.com, Purwokerto - Tubuh mungil dalang cilik itu tenggelam dikepung belasan tokoh wayang yang berjejer di kelir. Beberapa kali, kepalanya yang tertutup blangkon Banyumasan ‘mumbul-mumbul’ mengikuti irama permainan wayang.
Namun, tangannya yang begitu imut itu, dengan lincah memainkan beragam tokoh wayang dalam lakon ‘Jabang Tetuko’, kisah yang dinukil dari epos Mahabarata tentang kepahlawanan Gatotkaca melawan sesosok raksasa yang berulah karena hendak menikahi bidadari.
Usianya baru 7 tahun. Namun, rupanya Ki Catur Putra Sinatria, telah hapal cerita di luar kepala. Saat menirukan suara Gatotkaca yang berwibawa lagi lantang, kepalanya sampai menunduk-nunduk.
Baca Juga
Sementara, tangannya dengan kelincahan tingkat dewa, memainkan wayang-wayang yang dibandingkan tubuhnya saja hampir sama besar. Bahkan, dengan gunungan, tubuh itu masih kalah besar.
Aksi dalang cilik ini sungguh menarik hati. Hari itu, Catur benar-benar jadi Idola.
Catur dan dua dalang muda lainnya, Ki Rizky Widia Faturrohman dari SMAN 1 Purbalingga dan Ki Jalitheng Bagus Sasongko, Cilacap, menyemarakkan gelaran pakeliran padat dalam rangka ulang tahun RRI ke-72 di Purwokerto, Kamis, 14 September 2017.
Lantas, dari mana Catur belajar lakon pewayangan sampai canggih sebegitu rupa?
"Baru belajar berapa ya, enam bulan. Ya, baca cerita wayang dari buku, terus latihan sendiri sama bapak," kata bocah kelas 2 SD Negeri Kediri Kecamatan Karnglewas ini, polos. Tak tampak tanda kelelahan, meski tubuhnya penuh keringat.
Advertisement
Maklum saja, bocah yang mengidolakan Dalang Kondang Ki Manteb Sudharsono itu memainkan wayang kulit dalam durasi pentas sekitar dua jam.
"Dewa yang tidak terima direndahkan, ingin menyingkirkan sang buta (raksasa). Tapi, hanya ada satu orang yang bisa menaklukkannya, yaitu Bambang Tetuka atau yang juga dikenal dengan nama Gatotkaca," dia mengisahkan.
Ayahanda Catur, Wahyudi (53) bercerita, bakat mendalang Catur diketahuinya seusai menonton pementasan wayang Ki Mantheb Sudarsono. Sejak itulah, dia semakin tertarik dengan cerita pewayangan.
Sehari-hari, Wahyudi adalah perangkat desa Kediri. Namun, Ibundanya, Rakis Emilia, berprofesi sebagai sinden. Dari situ kemungkinan bakat seni mendalang Catur lahir dan berkembang.
"Buku-buku tentang wayang dipinjam dari kakaknya, dari sekolah lalu dihafalkan. Lama kelamaan dia minta dibelikan wayang. Kalau latihan juga sendiri, saya membantu menulis naskahnya. Tapi yang menyunting justru dia (Catur) sendiri," Wahyudi menerangkan.
Kepala Stasiun RRI Purwokerto, Budiningrum, mengatakan gelaran pakeliran padat ini merupakan salah satu bentuk komitmen untuk melestarikan seni budaya asli Indonesia. Oleh karena itu, dia mengundang tiga dalang muda dari Banyumas Raya. Penampilan tiga dalang muda itu menjadi simbol semangat untuk melestarikan budaya Indonesia.
Simak video pilihan berikut ini: