Liputan6.com, Palembang - Ruangan pengap, bau menyengat, minim ventilasi udara. Seperti itulah suasana tempat Amrullah (42) menghabiskan hari-harinya. Warga Desa Lubuk Tanjung, Muara Pinang, Kabupetan Empat Lawang, Sumatera Selatan ini mengidap penyakit gangguan jiwa dan menjalani hidupnya dalam belenggu rantai pasung.
Bau tak sedap di ruangan Amrullah itu berasal dari salah satu lubang di ruangan tersebut yang berfungsi sebagai toilet. Tidak ada sekat yang memisahkan tempat tidur dan tempat buang hajatnya itu.
Kondisi ini diperparah oleh rantai pasung yang dipasang di bagian pinggang Amrullah. Ia pun hanya bisa tidur di kasurnya dengan berselimut kain tipis yang sudah lusuh dan kotor. Tempat pemasungan ini berada di ruangan bawah rumah panggungnya dan selalu terkunci rapat.
Advertisement
Baca Juga
Ibu Amrullah, Rusna (62), tinggal di lantai atas rumahnya sendirian. Kendati masih ada saudara Amrullah, namun Rusna-lah yang mengurusnya setiap hari.
Rusna mengantarkan makanan setiap pagi dan malam hari. Terkadang, Amrullah sering mengamuk saat dibawakan obat penenang. Kebiasaan Amrullah yang tak bisa hilang adalah meminta rokok setiap harinya.
"Harus ada rokok. Kalau tidak, dia akan mengamuk. Jadi sehari saya bisa habis Rp 8.000 untuk rokok dia saja. Kalau disuruh makan obat, dia langsung marah. Dia bilang sudah capek makan obat," ujar Rusna kepada Liputan6.com, yang ditulis pada Jumat, 6 Oktober 2017.
Amrullah adalah satu dari puluhan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di Kabupaten Empat Lawang. Menurut data Dinas Sosial (Dinsos) Sumatera Selatan (Sumsel), di kabupaten hasil pemekaran ini terdapat 92 orang yang dipasung. Jumlah ini yang terbanyak dibandingkan kabupaten dan kota lain di Sumatera Selatan.
Amrullah mengalami gangguan jiwa sekitar tiga tahun lalu dan baru dipasung sejak dua tahun terakhir. Ia dipasung karena sering mengamuk dan mengganggu keamanan di sekitarnya. Amrullah juga sering menyerang warga secara tak terkendali.
"Sudah dua kali dipasung, tapi rantainya lepas. Jadi sekarang dipasung di pinggang agar tidak lepas. Kalau keluar rumah, suka mengganggu bahkan menyerang warga. Saya juga sering diserangnya," kata Rusna, sembari menyeka air mata.
Sebelum mengalami gangguan kejiwaan, anak ketiga dari enam bersaudara ini sudah dua kali berumah tangga namun selalu kandas. Kondisi jiwanya mulai terganggu setelah hasil kebun kopi yang siap panen ternyata dicuri orang.
Berbagai cara dilakukan Rusna untuk kesembuhan anaknya dan bisa terbebas dari pasungan, mulai dari pengobatan tradisional, secara spiritual hingga dibawa ke RSJ Ernaldi Bahar Palembang. Namun tanda-tanda kesembuhan tak kunjung terlihat. Karena tidak mengantongi kartu berobat gratis dari pemerintah, Rusna harus merogoh uang lebih untuk biaya pengobatan anaknya.
Dua tahun lalu Rusna bersama anaknya sempat membawa Amrullah ke RSJ di Palembang menggunakan mobil ambulans. Karena tidak mengantongi kartu kesehatan bagi warga miskin, Rusna harus merogoh kocek Rp 1 Juta. Anaknya pun terpaksa berhutang agar bisa membawa saudaranya ke RSJ Ernaldi Bahar itu.
Â
Â
Pemandu Turis Mancanegara
Perawatan di RSJ Ernaldi Bahar selama tiga minggu memanglah layanan gratis. Tapi ia harus mengeluarkan uang dari sakunya untuk membeli obat. Begitu juga saat perawatan selesai. Ia juga harus mengeluarkan biaya sendiri, karena tidak ada bantuan dari pemerintah, untuk membawa anaknya kembali ke rumah.
Petugas puskesmas di tempat tinggalnya juga sering datang untuk memberikan obat ke anaknya. Untuk satu paket pengobatan berupa suntik dan pil, Rusna membayar Rp 50.000.
"Karena tidak ada uang lagi dan anak saya tidak sanggup disuntik terus, akhirnya sekarang sudah stop berobat. Terakhir sekitar awal tahun 2017 lalu," ujarnya.
Rusna sendiri hingga saat ini belum mengantongi Kartu Indonesia Sehat (KIS) maupun kartu berobat gratis Sumsel Semesta dari Pemerintah Provinsi Sumsel.
Korban pemasungan lainnya adalah Eko (25), warga Desa Batu Galang, juga di Kecamatan Muara Pinang. Pria yang dulunya pernah menjadi pemandu wisata turis mancanegara di Bali ini, terpaksa dipasung karena mengidap gangguan jiwa.
Kondisi fisiknya bugar bertolak belakang dengan kejiwaannya. Sudah hampir empat tahun ia dipasung karena sering meresahkan keluarga dan warga sekitar. Kini Eko harus dirantai di bagian kaki dan tinggal di bagian belakang rumahnya.
Neneknya, Nawi (95) yang setiap hari merawatnya. Untuk mencukupi kebutuhan hari-hari, dia bekerja sebagai pengeruk tanah dan pemotong rumput di lahan kebun milik warga. Dalam sehari Nawi bisa membawa pulang uang Rp 40.000.
Gangguan kejiwaan Eko, bermula saat sang ayah meninggal dunia. Eko dan Andri, kakaknya, melihat sang ayah tewas dibunuh di hadapannya.
"Setelah ayahnya meninggal, Eko langsung sakit, disusul kakaknya Andri. Tapi Eko yang parah dan harus dipasung. Sedangkan Andri hanya gila saja," katanya.
Pria berkulit sawo matang ini dipasung di ruangan bagian belakang rumah panggung berbahan kayu. Walaupun ada beberapa sekat kamar, ia dipasung di ruangan kosong yang tidak ada fasilitas apapun. Sama halnya dengan Amrullah, untuk buang kotoran, disediakan lubang di lantai kayu di ruangannya.
Eko juga belum mendapatkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) ataupun kartu berobat gratis dari Pemprov Sumsel. Nawi mengaku tidak bisa berbuat apa-apa selain memasung cucunya tersebut.
Bidan Reni yang rutin menyambangi kediaman Eko. Ia mengaku setiap tiga kali seminggu rutin mendatangi kediaman Eko untuk memberikan obat dan suntikan. Pelayanan kesehatan dan obat-obatan yang dilakukan selama 3 hari dalam seminggu ini diberikan secara gratis.
"Eko sudah berapa kali dibawa berobat ke RSJ Ernaldi Bahar Palembang. Tapi setiap kali kami tinggalkan di sana, Eko tiba-tiba sudah sampai saja di rumahnya. Dia sering kabur dari rumah sakit," kata Reni.
Kemiskinan dan tempat tinggal yang jauh dari perkotaan, bahkan ibukota Provinsi Sumsel membuat para keluarga penderita gangguan jiwa terpaksa memasung ODGJ.