Liputan6.com, Semarang - Seorang perempuan berambut pirang, Claire Loussouarn, duduk di rerumputan pelataran Candi Sukuh lereng Gunung Lawu. Tiba-tiba ia menggeliat, seperti menari, gerakannya bervariasi. Ia kerahkan seluruh jiwa dan raganya.
Claire adalah seorang doktor antropologi dari Prancis. Ia juga seorang pembuat film dokumenter dan pengajar antropologi visual di Universitas London serta aktivis gerak.
Ia memang sedang mengeksplorasi gerak dengan tujuan mencabut segala kotoran yang ada di pikiran dan tubuh dengan melakukan Vipassana Dance. Vipassana adalah teknik mengubah diri lewat pengamatan diri yang ditemukan kembali oleh Sidharta Gautama sekitar 2500 tahun silam.
Advertisement
"Pemusatan perhatian pada hubungan pikiran dan tubuh," kata Claire, Senin (1/1/2018).
Baca Juga
Claire menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh memperhatikan perasaannya di Candi Sukuh kaki Gunung Lawu. Selama 15 menit Claire memaknai tubuh dan membentuk ulang tubuh dalam kehidupan yang berkaitan dengan pikiran.Ia melipat kaki di tanah, kemudian menangkupkan tubuh. Kemudian Claire mengangkat tangan kanannya ke langit. Tubuh menelungkup tanah, tangan ke langit menengadah.
Dilanjutkan gerak memutar. Sesekali tangannya melambai pelan penuh perasaan ke depan dan ke belakang. Dia mengelilingi sampai purna panggung dari tanah. Claire menuju bejana isi air bunga. Air itu lalu disiramkan ke pepohonan dan tubuhnya. Pentas Untittle berakhir.
"Perjalanan ini berdasar pengamatan dan penyelidikan diri sendiri. Membawa ke akar pikiran dan tubuh, yang melarutkan kekotoran mental. Akan mampu menghasilkan pikiran yang seimbang, penuh cinta dan kasih," kata Claire usai menyajikan Srawung Seni Candi di Candi Sukuh, Desa Berjo, Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah.
Simbol di Candi Sukuh
Candi Sukuh adalah candi Hindu. Namun, Claire menyajikan tradisi Buddhis. Tradisi bernama Vipassana itu dipelajari dan dipraktikkan hingga kini.
Sementara itu dalam pertunjukan berikutnya, ditandai dengan kepulan asap dupa di dinding candi. Bunyi lonceng kecil menandai kemunculan matahari pertama awal tahun 2018.
Di depan Candi Pewara, Suprapto Suryodarmo yang sudah berambut putih khusuk bersimpuh. Ia merapal mantra. Ajaib, tiba-tiba angin bertiup, meliukkan cemara ke kanan dan ke kiri.
Seorang perempuan dengan pinggang digantungi lonceng kecil bergelantungan. Rapal mantra, gemerincing lonceng dan gerak tari menyatu.
"Ini laku memperlakukan situs sebagai pusaka pustaka pujangga. Sebagai acuan kita menapak masa lalu, kini, dan masa depan," kata Suprapto Suryodarmo.
Suprapto Suryodarmo dikenal sebagai pengamal laku dengan media tari. Ia menjelaskan bahwa arca kura-kura di Candi Sukuh adalah simbol samudera mantana. Dan sesaji yang ditaruh di atasnya akan mengeluarkan Tirta Amerta.Tumpeng adalah tradisi purba masyarakat Indonesia. Bertujuan memuliakan gunung sebagai tempat para hyang, atau arwah leluhur. Setelah masyarakat Jawa menganut dan terpegaruh Hindhu, nasi dibentuk kerucutmeniru bentuk gunung suci Mahameru, papan dewa-dewi.
Tiba-tiba lonceng berbunyi keras dan dilanjutkan kirab. Suprapto dan para penari turun dari teras ketiga menuju teras kedua. Pada ujung teras pertama, merkea dijemput rombongan lain yang dipimpin Mat Jarot didampingi penari Otniel, dengan iringan rampak gendang. Prosesi dan ritual selesai.
Candi Sukuh terdiri dari dari tiga teras. Pada teras pertama ada gapura utama. Ditulis sebuah sengkala memet, Gapura Buta Aban Wong (Raksasa gapura memangsa manusia). Artinya bermakna 9, 5, 3, dan 1. Dalam Sengkala Memet, pembacaan di balik, sehingga menjadi tahun 1359 (Saka) (1437 Masehi).
Ada juga relief sengkala memet berwujud gajah bersorban yang menggigit ekor ular. Ini dianggap melambangkan bunyi gapura buta anahut buntut ("raksasa gapura menggigit ekor"), ditafsirkan sebagai 1359 Saka, yang dianggap sebagai tahun berdirinya candi ini. Diduga ini adalah tahun selesainya candi dibangun.
Advertisement