Tawa Belasan Siswa Disabilitas yang Menuntut Ilmu di Gubuk Ujung Hutan

Bersekolah di lingkungan yang serba terbatas, belasan siswa penyandang disabilitas menghabiskan hari dengan tawa. Hal itu menjadi penawar lelah bagi para pengajar.

oleh Ahmad Akbar Fua diperbarui 05 Mar 2018, 11:32 WIB
Diterbitkan 05 Mar 2018, 11:32 WIB
Tawa Belasan Siswa Disabilitas yang Menuntut Ilmu di Gubuk Ujung Hutan
Bersekolah di lingkungan yang serba terbatas, belasan siswa penyandang disabilitas menghabiskan hari dengan tawa. Hal itu menjadi penawar lelah bagi para pengajar. (Liputan6.com/Ahmad Akbar Fua)

Liputan6.com, Kendari - Beratap rumbia dan berdinding anyaman bambu, gubuk itu berdiri goyah di ujung rimba di Kelurahan Anggoeya, Kecamatan Andounohu, Kendari, Sulawesi Tenggara. Sekilas tak layak bertahan, nyatanya bangunan seluas 6x3 meter persegi itu merupakan tempat menuntut ilmu para siswa penyandang disabilitas.

Menengok ke dalam bangunan, terpampang di dinding bambu yang sudah kusam, sepasang poster Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla seharga Rp 8.000. Juga, ada papan tulis dan poster bergambar hewan dan tumbuhan.

Lantainya, bukan semen kasar apalagi keramik. Hanya tanah timbunan yang diratakan. Jika hujan tiba, alas kaki akan nampak kekuningan karena air hujan menetes dari bocoran atap rumbia tembus hingga membasahi lantai.

Rumah tua itu dipakai untuk mengajar belasan anak penyandang disabilitas. Berdiri di atas tanah hibah, pemberian seorang warga yang berbaik hati melihat semangat para guru.

Lokasinya berada di ujung hutan dan hanya ada satu rumah warga di dekatnya. Siswa harus melalui jalan aspal dan berlanjut dengan jalan setapak berbatu bila masuk melalui jalan poros Kelurahan Anduonohu.

Tepat di belakang bangunan gubuk itu, terdapat rimbunan pohon hutan yang menambah kesan terisolasi. Meski begitu, di dalam bangunan yang sudah beridir tiga tahun, suara-suara semangat para pejuang pendidikan lantang terdengar setiap pagi.

Sejak 2015, sebanyak 14 guru bergantian menangani di hadapan belasan anak-anak yang memiliki keterbelakangan mental. Nyaris tanpa gaji, mereka setia berbagi setiap pagi.

Hingga hari ini, sekolah yang berdiri dengan dana swadaya itu nyaris tak terpantau. Mungkin, hanya Tuhan dan orangtua siswa yang tahu, juga pemilik sisa tanah yang berbaik hati menghibahkan lokasi itu.

Fakta lainnya, belasan anak penyandang disabilitas itu lebih mengenal wajah presiden dan wakil presidennya. Namun, mereka tak pernah tahu siapa lurah atau wali kotanya.

 

 

 

 

Penumbuh Semangat

Tawa Belasan Siswa Disabilitas yang Menuntut Ilmu di Gubuk Ujung Hutan
Bersekolah di lingkungan yang serba terbatas, belasan siswa penyandang disabilitas menghabiskan hari dengan tawa. Hal itu menjadi penawar lelah bagi para pengajar. (Liputan6.com/Ahmad Akbar Fua)

Menurut para guru, sejumlah orangtua belasan anak dengan keterbelakangan mental di dalam gubuk reyot itu pernah nyaris putus asa. Sebab, putra-putrinya dianggap tak mampu bersaing di sekolah umum karena memiliki kekurangan sejak lahir.

Namun, Ninis Sudarwati, wanita yang bertanggung jawab atas sekolah itu datang dan mengubah keputusasaan mereka. Ibu empat anak itu mengaku merasa lebih fokus mengajar belasan siswa "kurang akal" dibanding mengajar puluhan siswa dalam satu ruangan kelas.

"Kan memang ada anak disabilitas belajar di sekolah umum. Tapi lebih fokus mereka diajar di sini, karena bisa satu-satu diberi pemahaman meskipun lebih lambat prosesnya," kata Ninis, Jumat, 2 Maret 2018.

Sekolah awalnya didirikan di lingkungan perumahan nasional. Namun karena beban sewa, mereka akhirnya pindah ke gubuk yang berdiri di tanah hibah itu hingga kini. Bertahun-tahun berdiri, sekolah itu belum pernah dilirik donatur.

"Di sini siswa belajar gratis, meskipun rumah gubuk. Kita bebas mengajar, meskipun banyak suka dukanya mengajar anak-anak dengan kekurangan," ujar Ninis.

Kadang Tertawa Sendiri

Tawa Belasan Siswa Disabilitas yang Menuntut Ilmu di Gubuk Ujung Hutan
Bersekolah di lingkungan yang serba terbatas, belasan siswa penyandang disabilitas menghabiskan hari dengan tawa. Hal itu menjadi penawar lelah bagi para pengajar. (Liputan6.com/Ahmad Akbar Fua)

Sekolah untuk anak-anak difabel itu bernaung di sebuah yayasan yang mengandalkan dana swadaya, hasil patungan pasangan suami istri, Ninis Sudarwati dan Yapsin Yaddi.

Hingga saat ini, ada 15 orang anak penyandang disabilitas yang bergantian datang ke sekolah tiap hari. Mereka terdiri dari dua penyandang tunanetra, dua tunarungu, dua tunagrahita ringan, tiga tunadaksa, dan seorang anak autis.

Kata salah seorang gurunya, Wa Ode Nurnia, mengajar mereka butuh kesabaran. Siswa dengan disabilitas memiliki suasana hati yang kadang sukar ditebak.

"Di saat itu, kadang kami bisa tertawa atau kesal sendiri, tapi itulah warna-warni dalam mendidik anak yang kami nikmati," ujar Wa Ode.

Jika siswa disabilitas tidak sedang ingin belajar, mereka tidak bisa dipaksa. Kadang, murid yang sudah susah payah diantar oleh orangtuanya itu hanya berkeliling tak jelas dan mengganggu rekannya yang lain.

Jika sedang ingin belajar, mereka akan ikut apa kata guru. Belajar menulis dan menggambar menjadi kegiatan sehari-hari.

"Sekarang, mereka sudah bisa diajak sekali-sekali membuat kerajinan tangan. Meskipun harus lebih sabar dan teliti kita ajar," tam bahnya.

Kadang, menurut Wa Ode Nurnia, para siswanya bisa tertawa sendiri. Entah apa yang lucu, mereka bisa tertawa terbahak-bahak tanpa sebab. "Mereka jarang menangis, itu yang kami suka," ucapnya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya