Uniknya Ritual Sakral Perang Api di Bali

Terteran atau ritual perang api adalah suatu ritual di Desa Adat Saren yang ada sejak puluhan tahun lamanya.

oleh Dewi Divianta diperbarui 16 Apr 2018, 09:01 WIB
Diterbitkan 16 Apr 2018, 09:01 WIB
Tradisi Terteran atau perang api
Tradisi Terteran atau perang api. (Foto: Istimewa/Dewi Divianta)

Liputan6.com, Denpasar - Terteran atau ritual perang api adalah suatu ritual di Desa Adat Saren, Kabupaten Karangasem, Bali, yang ada sejak puluhan tahun lamanya. Hal tersebut diyakini adalah semacam sesembahan yang dihaturkan kepada Ida Sesuhunan (sesuatu yang dipuja).

Sebab, tanpa tradisi tersebut maka upacara belum dikatakan lengkap. Di mana, tradisi tersebut layaknya perang kaum lelaki dengan jarak dekat melalui sarana serabut kelapa yang dibakar.

Sebelum ritual perang api, seluruh masyarakat Desa Adat Saren melaksanakan persembahyangan di Pura Sang Sege. Di mana serabut kelapa yang ditumpuk menyerupai benteng tersebut juga diperciki air suci dan dihaturkan canang.

Hal tersebut guna menetralisir sarana tersebut dari unsur leteh (kotor), sekaligus memberikan makna pemberkatan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

"Tradisi perang api ini adalah tradisi suci, mengajarkan nilai kesantunan, sportivitas, persaudaraan dan keikhlasan. Karena itu setiap peserta wajib hukumnya menjaga tradisi ini bisa berjalan dengan sakral dan khidmat,"ucap salah seorang pemangku adat di Desa Saren, Mangku Susena, Minggu, 15 April 2018.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

 

Tradisi Turun-temurun

Tradisi Terteran atau perang api
Tradisi Terteran atau perang api. (Foto: Istimewa/Dewi Divianta)

Tradisi terteran diakuinya adalah tradisi turun-temurun yang memiliki makna peleburan hawa atau sifat negatif dengan media berupa api. Makna tersebut sifatnya berupa penafsiran.

Sebab, leluhur pendahulu di Desa Adat Saren tidak ada yang menceritakan secara pasti tentang makna rangkaian materteran.

"Ada juga yang mengartikan 'meter-teran' itu berasal dari kata 'teer' yang artinya memperlihatkan. Dalam artian, inilah saatnya bagi kaum laki-laki di Desa Adat Saren untuk memperlihatkan kemampuan, ketangguhannya dalam menghadapi segala tantangan kehidupan," ucapnya.

Dalam pelaksanaan terteran, kaum lelaki dibagi menjadi dua kutub yang berseberangan, yaitu kutub utara dan selatan. Kutub selatan berada di depan Pura Sang Sege, sementara kutub utara berada di depan Pura Jati dengan pembagian peserta yang seimbang.

Dalam melaksanakan ritual ini masyarakat diwajibkan memakai kamben (kain Bali) dan mengikuti aturan yang berlaku. Mereka tidak diperbolehkan berkata jorok dan kasar, tidak memakai boyongan (serabut basah) yang bisa mengakibatkan memar, tidak mengayunkan serabut api dari bawah bawah ke atas, tidak membawa unsur dengki atau permusuhan.

"Terteran ini menggunakan sarana sambuk yang dibakar, api itu melambangkan semangat yang harus dikobarkan di masing-masing masyarakat dalam melaksanakan yadnya, (sembah bakti)," ujarnya.

Sarana Perekat Silaturahmi

Tradisi Terteran atau perang api
Tradisi Terteran atau perang api. (Foto: Istimewa/Dewi Divianta)

Terteran sendiri dipimpin oleh anggota pecalang yang bertugas selaku penengah. Dalam pelaksanaan tersebut kelompok masyarakat dibagi menjadi dua, yaitu terteran dengan peserta anak-anak pada saat menjelang sore hari dan kemudian dilanjutkan terteran dengan peserta remaja dan dewasa. Pelaksanaan terteran sendiri dilakukan dengan pemadaman lampu penerangan jalan dan cahaya lainnya.

Gunanya, antara peserta satu sama lainnya tidak saling mengetahui, untuk mengantisipasi agar bibit permusuhan tidak muncul usai terteran. Namun lampu hanya bisa dinyalakan ketika terjadi insiden, atau peserta dan wasit mengambil tindakan sesuatu untuk memperlancar pelaksanaan kegiatan.

"Melalui momen inilah masyarakat Desa Adat Saren, yang terbagi menjadi empat kelompok yaitu Saren Kauh, Saren Anyar, Saren Kangin, Dukuh-Pesawan, berbaur bersama. Ini sekaligus sebagai sarana perekat silaturahmi," katanya.

Selain itu, dalam pelaksanannya peserta diminta mengindahkan kata "batur" dan "liss". Kedua kata tersebut adalah aba-aba pemandu tradisi, "liss" artinya serang dan "batur" artinya berhenti sejenak. Dalam pelaksanaannya, tidak pernah ada korban luka dalam terteran.

Terkecuali jika yang bersangkutan "kesisipan" (kekeliruan atau kesalahan), karena mengucapkan sesuatu yang tidak diperkenankan dan melaksanakan hal yang dilarang. Seandainya dalam tradisi perang api ada luka bakar ringan yang ditimbulkan, hal itu bisa diobati dengan bunga pucuk bang yang ada di Pura Dalem.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya