5 Fakta Unik Penglipuran, Desa Terbersih Dunia yang Ada di Bali

Lebih dari sekadar destinasi wisata, Desa Penglipuran punya banyak fakta unik yang perlu diketahui.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 12 Sep 2018, 00:00 WIB
Diterbitkan 12 Sep 2018, 00:00 WIB
Desa Penglipuran
Desa Penglipuran. (Foto: Shendy Aditya/ Kementerian Pariwisata)

Liputan6.com, Jakarta - Berlokasi di kawasan Bangli, tepatnya di Jalan Rambutan, Desa Penglipuran kini tak pernah sepi dari pengunjung, terlebih saat liburan sekolah tiba.

Desa yang didapuk menjadi salah satu dari tiga desa terbersih di dunia ini telah menjadi destinasi wisata hits di Bali. Bukan hanya suasana damai dan sejuk, di desa ini pengunjung bisa menemukan beragam fakta unik.

Berikut beberapa fakta unik Desa Penglipuran yang berhasil dihimpun tim Liputan6.com, Senin (10/9/2018).

Hutan Bambu Pelindung Desa

Perlu diketahui, sebagian besar atau sekitar 40 persen atau 45 hektar dari 112 hektare luas wilayah Desa Penglipuran adalah hutan bambu. Hutan bambu dibiarkan tumbuh mengelilingi desa dan menjadi kawasan resapan.

Tak hanya itu, hutan bambu yang dibiarkan tumbuh ini juga menjadi manifestasi bahwa masyarakat adat Penglipuran terus menjaga keseimbangan antara manusia dengan alam.

I Wayan Supat, Ketua Adat Desa Penglipuran saat ditemui Liputan6.com mengatakan, di Desa Penglipuran atau umumnya di Bali tidak akan terjadi apa yang kini sedang terjadi antara Bogor dan Jakarta. Semua saling melindungi satu sama lain.

"Itulah pinternya tetua adat kita. Kami di sini konsisten seperti itu, 2001 kami bahkan pernah bertengkar dengan pemerintah gara-gara hutan bambu kami ingin dibeli untuk pusdiklat," ungkap Wayan Supat.

Larangan Poligami

Poligami atau beristri lebih dari satu merupakan dosa besar bagi masyarakat adat Desa Penglipuran. Jika ada yang melanggar akan dikucilkan dan hidupnya dipindahkan ke sebuah kawasan khusus yang diberinama Karangmemadu.

Tak hanya itu, upacara pernikahan juga tidak akan diterima di desa, bahkan orang tersebut ada kemungkinan diusir dari desa.

"Hakikatnya larangan pologami ini adalah untuk pemberdayaan perempuan. Tidak boleh poligami itu kan secara tidak langsung wanita di Penglipuran ini terjamin, dilindungi haknya," kata Wayan Supat.

Falsafah Tata Ruang Trimandala

Tri itu tiga, sedangkan Mandala berarti zona, jadi Trimandala secara harfiah bisa diartikan sebagai tiga zona yang memiliki tingkat fungsi dan tingkat kesucian yang berbeda.

Secara makro Desa Penglipuran punya orientasi utara dan selatan, dan yang paling utara adalah paling tinggi. Dengan topografi melereng itu adalah tempat ibadah, zona utama mandala namanya. Kawasan ini kerap diyakini sebagai setanah tuhan, tempat berdoa.

Kemudian merendah ke zona 9 hektare yang merupakan kawasan permukiman penduduk, itu madya mandala. Ruangnya manusia. Dan yang paling bawah adalah kawasan nista mandala, nista itu adalah zona kuburan.

"Jadi secara mikro, konsep di pekarangan rumah begitu juga, utama mandala, tempat pemujaan keluarga, madya mandala itu rumah keluarga, nista mandala itu bisanya toilet," ungkap Wayan Supat.

Menginap di Rumah Warga

Jika pengunjung ingin berlama-lama di Desa Penglipuran, beberapa rumah penduduk merupakan homestay yang bisa digunakan sebagai tempat menginap. Banyak pengalaman unik tentu akan didapat saat Anda menginap di rumah penduduk, salah satunya adalah menyicip dan menyaksikan pembuatan kuliner khas Desa Penglipuran.

Tak hanya itu, para tamu akan menemukan banyak budaya adiluhung masyarakat adat desa yang mungkin tidak banyak orang tahu.

Untuk menginap di homestay Penglipuran, wisatawan dikenakan biaya Rp 500 ribu per malam. Ongkos ini sudah termasuk beragam fasilitas, salah satunya adalah sarapan pagi.

Penganut Falsafah Kalapatra

Meski Desa Penglipuran telah menjadi desa konservasi sejak tahun 1980-an, yang artinya desa ini tetap menjaga tradisi dan budaya yang dimilikinya, namun penduduknya menganut falsafah Kalapatra.

I Wayan Supat menyebut, Kalapatra adalah falsafah masyarakat adat Dea Penglipuran yang tidak kaku melihat budaya orang lain, dalam kata lain, tidak seperti desa adat pada umumnya yang tertutup terhadap budaya orang lain, desa ini terbuka dan orang-orang di dalamnya bisa menikmati budaya orang lain.

"Ada sekitar 70 anak-anak kami yang sekarang bekerja di luar negeri. Kebanyakan mereka sudah tidak mau lagi menjadi petani. Ini kendala kami sebenarnya, tapi saya yakin di atas umur 50 tahun mereka akan kembali lagi ke desa, menjadi petani," kata Wayan Supat.

 

Simak juga video menarik berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya