Upaya Konservasi Sidat, Ikan Mirip Ular Kesukaan Masyarakat Jepang

Meski terkesan menyeramkan, ikan sidat adalah favorit masyarakat Jepang, Korea Selatan dan sejumlah negara Eropa.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 23 Nov 2018, 12:03 WIB
Diterbitkan 23 Nov 2018, 12:03 WIB
Habitat sidat, Laguna Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Habitat sidat, Laguna Segara Anakan, Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - Desa Kaliwungu Kecamatan Kedungreja, Cilacap, Jawa Tengah dibelah oleh Sungai Cibeureum yang bermuara di Laguna Segara Anakan. Tak Aneh, jika warga desa ini begitu akrab dengan ikan sidat.

Bentuknya mirip dengan belut. Tetapi, kepalanya lebih mirip ular. Meski terkesan menyeramkan, ikan sidat adalah favorit masyarakat Jepang, Korea Selatan, dan sejumlah negara Eropa. Di Jepang, sidat dikenal dengan Unagi.

Keberadaan Laguna Segara Anakan, kawasan hutan mangrove dan sejumlah muara sungai lain membuat Cilacap menjadi salah satu pemasok sidat dan benih sidat terbesar, selain Sukabumi dan Banyuwangi. Tiap tahun, puluhan ton sidat, baik berukuran konsumsi maupun pokol atau benih ditangkap di perairan ini.

Potensi sidat di Cilacap memang besar. Akan tetapi, jika ekspolitasi dilakukan terus menerus, bukan mustahil, sidat bakal menjadi komoditas langka.

Tanda-tandanya pun sudah nampak. Tiap tahun, hasil tangkapan ikan sidat alam semakin menurun.

Bahkan, sidat adalah salah satu dari tiga jenis ikan Indonesia yang mendapat perhatian khusus Food and Agriculture Organization (FAO). Jumlahnya diperkirakan terus menurun seiring penangkapan yang tiada henti.

Karenanya, dibutuhkan sebuah terobosan untuk melestarikan kekayaan potensi perairan Indonesia ini. Tetapi, pelestarian itu pun tak bisa dilakukan serta-merta tanpa peran masyarakat setempat.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Cilacap pun secara resmi menetapkan Desa Kaliwungu Kecamatan Kedungreja Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah sebagai kampung sidat, Kamis (22/11/2018).

Potensi Ekspor Sidat

Budidaya Sidat. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Budidaya Sidat. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Kepala Badan Riset dan SDM KKP, Prof DR Syarif Wijaya mengatakan, penetapan salah satu desa di Cilacap sebagai kampung sidat mempertimbangkan potensi jumlah sidat konsumsi dan benih di Cilacap yang sangat besar.

Meski diakui masih berpotensi besar, namun dikhawatirkan sidat tangkapan alam itu cepat habis jika dieksploitasi terus menerus. Harga sidat yang sangat tinggi memicu penangkapan besar-besaran, baik untuk pasar domestik maupun ekspor.

"Persoalannya, kalau kita tidak mengambil sidat dengan cara-cara yang baik, usaha ini tidak akan bertahan lama. Karena sidat akan cepat habis," jelasnya.

Sebab itu, nelayan dan masyarakat di Cilacap dilatih untuk membudidayakan sidat agar kebutuhan pasar ekspor dan domestik tak hanya mengandalkan dari tangkapan alam. Selain itu, nelayan dan masyarakat juga akan dilatih pengelolaan paska-panen dan pengolahan sidat.

Lebih lanjut Syarif mengemukakan, di Eropa dan negara-negara Asia, seperti Jepang dan Korea, kebutuhan sidat terus meningkat. Sementara, lantaran jumlahnya yang sudah minim, di Jepang sidat dilarang untuk ditangkap atau dikonsumsi. Sebab itu, Jepang mengimpor sidat dalam jumlah besar.

Diketahui, delapan dari 20 jenis sidat di dunia ada di Indonesia. Di Indonesia, juga ada dua jenis sidat yang sangat diminati pasar ekspor, yakni Anguilla Bicolor dan Anguilla Mamorata.

Perwakilan Food and Agriculture Organization (FAO) Indonesia, Ageng Heriyanto menilai pencanangan kampung sidat tepat untuk meningkatkan pendapatan masyarakat sekaligus bernilai konservasi.

Sidat adalah salah satu jenis ikan di Indonesia yang mendapat perhatian lebih lantaran hasil tangkapannya semakin turun dari tahun ke tahun. Sebab, sidat yang dikonsumsi masyarakat Indonesia serta diekspor itu nyaris semuanya adalah hasil tangkapan alam. Jika dieksploitasi secara terus menerus, maka sidat di terancam punah atau setidaknya kritis.

Pemberdayaan Berbasis Konservasi

Ia menilai pencanangan kampung sidat setidaknya akan mengurangi eksploitasi sumber daya alam. Penetepan kampung sidat ini menurut dia memiliki dua keuntungan sekaligus, yang pertama adalah keuntungan petani dan nelayan di sekitar perairan Cilacap. Yang kedua adalah nilai konservasi.

Sebab itu, tiap kali panen, tiap pembudidaya diwajibkan untuk melepasliarkan setidaknya 20 persen dari jumlah produksinya. Saat dipanen, bobot sidat sudah di atas 250 gram, atau sudah berklasifikasi indukan. Karenanya, diharapkan sidat ini akan segera berkembang biak.

Keuntungan lainnya, dengan adanya sentra budidaya ikan sidat berukuran kecil yang tertangkap tak habis dikonsumsi. Ikan ini akan dijual sebagai benih (pokolan) yang akan dibesarkan. Keuntungannya, jumlah sidat per satuan yang dikonsumsi akan berkurang jauh.

"Konservasi sumber daya itu jika petani, yang berada paling dekat dengan situasi, atau lingkungan habitat itu tidak mendapat keuntungan. Oleh karena itu, kami FAO, bekerja sama dengan KKP, dan Pemkab Cilacap mencanangkan kampung sidat," Ageng menjelaskan.

Menurut dia, untuk melestarikan sidat, perlu komitmen dari semua pihak. Utamanya, warga di sekitar habitat sidat yang oleh Uni Eropa sudah dikategorikan 'lampu kuning'. Masyarakat setempat harus mendapat keuntungan dari konservasi yang dilakukan.

Caranya yakni dengan mengajak mereka menjadi pelaku bisnis atau pembudidaya sidat. Para pembudidaya juga diajarkan cara memelihara sidat dengan cara sehat dan berkelanjutan. Dengan demikian, petani atau nelayan tetap diuntungkan, dan alam tetap lestari.

Selama empat tahun ke depan, FAO beserta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) serta Pemkab Cilacap akan mendampingi pembudidaya sidat di Kaliwungu untuk meningkatkan kesejahteraan dan tak melupakan sisi konservasi.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya