Liputan6.com, Tana Toraja - Meski penyidikannya kembali dilanjutkan setelah tujuh tahun mandek, penanganan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek, Kabupaten Tana Toraja, Sulsel masih berjalan lamban.
Hingga saat ini, tim penyidik tipikor Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel baru memeriksa empat orang saksi yang semuanya berperan sebagai panitia pengadaan tanah (tim sembilan).
"Sudah empat orang saksi diperiksa. Semua tim pengadaan tanah," ucap Kepala Subdit III Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Direktorat Reskrimsus Polda Sulsel, Kompol Yudha Wiradjati via pesan singkat, (Minggu 17/2/2019.
Advertisement
Keempatnya, kata dia, masing-masing mantan Sekretaris Daerah (Setda) Kabupaten Tana Toraja, mantan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Tana Toraja dan seorang pegawainya serta mantan Kepala Badan Perencanaan Daerah (Bappeda) Kabupaten Tana Toraja.
"Baru itu yang kami periksa dan dalami keterangannya," lanjut Yudha.
Baca Juga
Terpisah, Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia Paulus Makassar (UKI Paulus Makassar), Jermias Rarsina menjelaskan bahwa lebih awal perlu diketahui tugas dari panitia pengadaan tanah (tim sembilan) dalam proyek pembebasan lahan Bandara Mangkendek Tana Toraja tersebut.
Dia menjelaskan secara hukum salah satu tugas dari panitia pengadaan tanah adalah menginventarisir objek dan subjek pemegang hak atas tanah.
Tujuannya, untuk mengetahui identitas tanah, hak-hak atas tanah dan siapa pemegang hak atas tanah untuk memperoleh ganti rugi lahan yang dibebaskan (pengadaan) untuk kepentingan umum dengan berkepastian.
Sehingga adanya sengketa perdata atas lahan yang menjadi objek pengadaan lahan yang dimaksud dan ditemukan dalam putusan perdata ternyata pemegang hak atas tanah bukan merupakan pihak yang menerima pembayaran pembebasan lahan sebagai pemilik atau bukan sebagai pihak yang berhak.
Maka justru putusan perdata tersebut secara hukum dengan terang, jelas dan tegas telah mengukuhkan terpenuhinya adanya unsur melawan hukum dan unsur kerugian keuangan atau perekonomian negara yakni telah terjadi salah bayar dalam ganti rugi lahan pengadaan tanah untuk pembangunan Bandara Mangkendek Toraja yang dimaksud.
"Maka secara hukum unsur delik korupsi menurut pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU korupsi telah dengan sempurna menjadi terpenuhi untuk diproses penanganan perkara pidananya. Jika berdasarkan putusan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisdje) tersebut," jelas Jermias, Minggu (17/2/2019).
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Lika-Liku Penanganan Kasus Dugaan Korupsi Bandara Mangkendek Toraja
Diketahui penyelidikan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek Toraja dilakukan Polda Sulsel sejak tahun 2012. Kemudian dalam perjalanannya kasus tersebut ditingkatkan ke tahap penyidikan dan menetapkan 8 orang tersangka di tahun 2013.
Usai penetapan delapan orang tersangka, penyidik pun langsung menahan 2 orang diantaranya yakni mantan Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tana Toraja Enos Karoma dan mantan Camat Mengkendek Ruben Rombe Randa. Namun karena masa penahanan keduanya habis, mereka pun dikeluarkan dari sel titipan Lapas Klas 1 Makassar demi hukum.
Setelah keduanya terlepas dari jeratan hukum, penyidik Polda Sulsel diam-diam membuka kembali penyidikan kasus itu dan menahan kembali 6 orang tersangka sebelumnya.
Mereka adalah mantan Kepala Bappeda Yunus Sirante, Mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tana Toraja, Haris Paridy dan Mantan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informatika, Pos dan Telekomunikasi Tana Toraja, Agus Sosang.
Selanjutnya ada juga mantan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tana Toraja, Yunus Palayukan, Mantan Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman Tana Toraja, Gerson Papalangi dan Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tana Toraja, Zeth John Tolla.
Hanya selang beberapa bulan kemudian, 6 tersangka tersebut akhirnya dilepas lantaran proses penyidikan belum rampung dan masa penahanan para tersangka telah habis.
Karena kewalahan merampungkan penyidikan, Polda Sulsel kemudian berinisiatif meminta KPK melakukan supervisi. Dan di tahun 2017, KPK pun melakukan supervisi dan mengundang pihak Polda Sulsel dan Kejati Sulsel untuk melakukan gelar perkara terbuka di gedung KPK. Hasilnya pun telah dikembalikan ke Polda Sulsel untuk segera ditindak lanjuti. Namun faktanya hingga saat ini penyidikan tak kunjung juga rampung.
Dari hasil penyidikan, para tersangka yang bertindak selaku panitia pembebasan lahan atau tim sembilan diduga telah menyelewengkan anggaran. Mereka melakukan pembayaran kepada warga yang sama sekali tidak memiliki alas hak atas lahan tersebut.
Para tersangka melakukan mark up dana yang dialokasikan sebagai dana ganti rugi pembebasan lahan untuk persiapan pembangunan bandara baru Mangkendek sebesar Rp 38,2 miliar.
Khusus tersangka Enos yang bertindak sebagai Ketua Panitia pembebasan lahan di ketahui langsung berinisiatif sendiri menetapkan harga lahan basah senilai Rp 40. 250 per meter persegi. Sementara hal itu belum di sepakati sehingga belakangan banyak lahan menjadi sengketa.
Dari hasil musyawarah antara panitia pembebasan lahan dengan para pemilik lahan yang berlangsung di ruang pola Kantor Bupati Tana Toraja tepatnya 28 Juni 2011, disepakati harga tanah untuk jenis tanah kering non sertifikat senilai Rp 21.390 per meter persegi, tanah kering bersertifikat Rp 25.000 per meter persegi, tanah basah non sertifikat Rp 35.000 permeter per segi serta untuk jenis tanah basah bersertifikat belum disepakati.
Tak hanya itu, dari hasil penyidikan juga ditemukan terjadi pemotongan PPH sebesar 5 persen dan administrasi 1,5 persen dalam proses pembebasan lahan. Panitia pengadaan tanah tidak mengacu pada peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1960 tentang UUPA, Perpres 65 tahun 2006 tentang pengadaan tanah untuk pemerintah bagi kepentingan umum dan Perka BPN RI Nomor 3 tahun 2007 tentang ketentuan pelaksanaan Perpres 65 tahun 2006 hingga menimbulkan perkara kepemilikan lahan.
Atas perbuatannya para tersangka disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) sub pasal 3 UU RI Nomor 31 tahun 1999 Jo UU RI Nomor 20 tahun 2001 atas perubahan UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana.
Kasus ini pun sempat menyebut keterlibatan Bupati Tana Toraja (Tator) kala itu, Thefelius Allererung. Di mana keterlibatannya terungkap dari keterangan beberapa saksi yang telah di periksa penyidik saat itu.
Beberapa saksi telah mengaku dan membenarkan jika ada pertemuan pembahasan ganti rugi lahan yang digelar di rumah jabatan Bupati, Thefelius Allererung.
Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulawesi Selatan (Sulsel) disimpulkan terjadi kerugian negara sebesar Rp 21 miliar dari total anggaran Rp 38 miliar yang digunakan dalam proyek pembebasan lahan bandara tersebut. Meski belakangan nilai kerugian itu dianulir setelah dilakukan audit ulang oleh BPKP Sulsel. Dimana kerugian ditetapkan hanya senilai Rp 7 M lebih.
Anggaran proyek sendiri diketahui bersumber dari dana sharing antara APBD Kabupaten Tana Toraja dan APBD Propinsi Sulsel. Kesalahan pembayaran dalam proyek pembebasan lahan tersebut dikuatkan oleh putusan perdata dari pihak yang mengaku sebagai pemilik lahan, namun tak mendapatkan haknya. Malah pihak yang bukan pemilik lahan justru menerima pembayaran ganti rugi
Advertisement