Kasus Dugaan Korupsi Bandara Mangkendek Toraja, 2 Pegawai Aset Diperiksa

Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel memeriksa dua orang pegawai badan aset Pemkab Tana Toraja dalam penyidikan baru kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek Tana Toraja, Sulsel

oleh Eka Hakim diperbarui 07 Feb 2019, 23:00 WIB
Diterbitkan 07 Feb 2019, 23:00 WIB
Massa HMI Makassar menghadang mobil saat berunjuk rasa di depan Kantor Kejati Sulsel memperingati hari anti korupsi se-dunia 2018 (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Massa HMI Makassar menghadang mobil saat berunjuk rasa di depan Kantor Kejati Sulsel memperingati hari anti korupsi se-dunia 2018 (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Liputan6.com, Tana Toraja Penyidik Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Krimsus) Polda Sulawesi Selatan (Sulsel) terus menggenjot pemeriksaan saksi-saksi dalam penyidikan baru kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek, Kabupaten Tana Toraja, Sulsel yang sebelumnya dikabarkan mandek hingga tujuh tahun.

Kepala Subdit 3 Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Direktorat Kriminal Khusus Polda Sulsel, Kompol Yudha Wirajati mengatakan sudah ada dua orang saksi yang telah menjalani pemeriksaan hingga hari ini.

"Kedua saksi merupakan pegawai dari Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Pemerintah Kabupaten Tana Toraja (BPKAD Tana Toraja)," kata Yudha via pesan singkat, Rabu (6/2/2019).

Dalam pemeriksaan saksi-saksi, diakuinya, tak memerlukan waktu lama. Penyidik tinggal memperdalam keterangan yang telah diambil sebelumnya.

"Fokus kita kan mempertajam kembali keterangan dari saksi-saksi yang telah diperiksa sebelumnya," terang Yudha.

Sebelumnya, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulsel, Kombes Pol Yudhiawan Wibisono menegaskan jika pihaknya tak akan pernah berencana menghentikan penanganan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek Tana Toraja tersebut.

Meski diakuinya, penyidikan terdahulu terkendala karena pihaknya belum dapat memenuhi petunjuk yang diberikan oleh tim Jaksa Peneliti sehingga berkas tersangka bolak-balik dan tidak menemukan titik terang dinyatakan lengkap (P.21).

Namun terlepas dari itu, kata dia, pihaknya akan berupaya kembali membuka penyidikan dengan memperpanjang waktu penyidikan guna memenuhi kelengkapan berkas perkara dugaan korupsi yang ditaksir merugikan negara miliaran rupiah tersebut.

"Makanya karena berkas bolak-balik, kita lakukan penyidikan ulang agar petunjuk yang diberikan oleh Jaksa segera dapat terpenuhi," jelas Yudhiawan, Sabtu 2 Februari 2019.

Pertimbangan lain, beber dia, karena melihat besarnya uang negara yang telah digunakan dalam penanganan kasus Bandara Mangkendek Tana Toraja sejak awal.

"Uang negara kan sudah banyak dikeluarkan untuk penyelidikan hingga penyidikan kasusnya kok mau dihentikan (SP.3). Saya kira tidak," jelas Yudhiawan.

Ia berharap masyarakat Sulsel mendukung upaya pihaknya dalam menuntaskan penyidikan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek Tana Toraja tersebut yang sebelumnya tak menemui titik terang hingga memakan waktu 7 tahun lamanya.

"Percayakan kami bekerja dengan maksimal dan profesional dalam menuntaskan kasus Bandara Mangkendek Tana Toraja ini. Insya Allah kita akan berupaya maksimal," ucap Yudhiawan.

Saksikan Video Pilihan Di Bawah Ini:

Perjalanan Panjang Kasus Bandara Mangkendek Tana Toraja

Kepala Bidang Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Dicky Sondani memastikan penyidikan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek Tana Toraja berlanjut (Liputan6.com/ Eka Hakim)
Kepala Bidang Humas Polda Sulsel, Kombes Pol Dicky Sondani memastikan penyidikan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek Tana Toraja berlanjut (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Penyelidikan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek dilakukan Polda Sulsel sejak tahun 2012. Kemudian dalam perjalanannya kasus tersebut ditingkatkan ke tahap penyidikan dan menetapkan 8 orang tersangka di tahun 2013.

Usai penetapan 8 orang tersangka, penyidik pun langsung menahan 2 orang diantaranya yakni mantan Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tana Toraja Enos Karoma dan mantan Camat Mengkendek Ruben Rombe Randa. Namun karena masa penahanan keduanya habis, mereka pun dikeluarkan dari sel titipan Lapas Klas 1 Makassar demi hukum.

Setelah keduanya terlepas dari jeratan hukum, penyidik Polda Sulsel diam-diam membuka kembali penyidikan kasus itu dan menahan kembali 6 orang tersangka sebelumnya.

Mereka adalah Mantan Kepala Bappeda Yunus Sirante, Mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tana Toraja, Haris Paridy dan Mantan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informatika, Pos dan Telekomunikasi Tana Toraja, Agus Sosang.

Selanjutnya ada juga mantan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tana Toraja, Yunus Palayukan, Mantan Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman Tana Toraja, Gerson Papalangi dan Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tana Toraja, Zeth John Tolla.

Hanya selang beberapa bulan kemudian, 6 tersangka tersebut akhirnya dilepas lantaran proses penyidikan belum rampung dan masa penahanan para tersangka telah habis.

Karena kewalahan merampungkan penyidikan, Polda Sulsel kemudian berinisiatif meminta KPK melakukan supervisi. Dan di tahun 2017, KPK pun melakukan supervisi dan mengundang pihak Polda Sulsel dan Kejati Sulsel untuk melakukan gelar perkara terbuka di gedung KPK. Hasilnya pun telah dikembalikan ke Polda Sulsel untuk segera ditindak lanjuti. Namun faktanya hingga saat ini penyidikan tak kunjung juga rampung.

Dari hasil penyidikan, para tersangka yang bertindak selaku panitia pembebasan lahan atau tim sembilan diduga telah menyelewengkan anggaran. Mereka melakukan pembayaran kepada warga yang sama sekali tidak memiliki alas hak atas lahan tersebut.

Para tersangka melakukan mark up dana yang dialokasikan sebagai dana ganti rugi pembebasan lahan untuk persiapan pembangunan bandara baru Mangkendek sebesar Rp 38,2 miliar.

Khusus tersangka Enos yang bertindak sebagai Ketua Panitia pembebasan lahan di ketahui langsung berinisiatif sendiri menetapkan harga lahan basah senilai Rp 40. 250 per meter persegi. Sementara hal itu belum di sepakati sehingga belakangan banyak lahan menjadi sengketa.

Dari hasil musyawarah antara panitia pembebasan lahan dengan para pemilik lahan yang berlangsung di ruang pola Kantor Bupati Tana Toraja tepatnya 28 Juni 2011, disepakati harga tanah untuk jenis tanah kering non sertifikat senilai Rp 21.390 per meter persegi, tanah kering bersertifikat Rp 25.000 per meter persegi, tanah basah non sertifikat Rp 35.000 permeter per segi serta untuk jenis tanah basah bersertifikat belum disepakati.

Tak hanya itu, dari hasil penyidikan juga ditemukan terjadi pemotongan PPH sebesar 5 persen dan administrasi 1,5 persen dalam proses pembebasan lahan. Panitia pengadaan tanah tidak mengacu pada peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1960 tentang UUPA, Perpres 65 tahun 2006 tentang pengadaan tanah untuk pemerintah bagi kepentingan umum dan Perka BPN RI Nomor 3 tahun 2007 tentang ketentuan pelaksanaan Perpres 65 tahun 2006 hingga menimbulkan perkara kepemilikan lahan.

Atas perbuatannya para tersangka disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) sub pasal 3 UU RI Nomor 31 tahun 1999 Jo UU RI Nomor 20 tahun 2001 atas perubahan UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Kasus ini pun sempat menyebut keterlibatan Bupati Tana Toraja (Tator) kala itu, Thefelius Allererung. Dimana keterlibatannya terungkap dari keterangan beberapa saksi yang telah di periksa penyidik saat itu.

Beberapa saksi telah mengaku dan membenarkan jika ada pertemuan pembahasan ganti rugi lahan yang digelar di rumah jabatan Bupati, Thefelius Allererung.

Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulawesi Selatan (Sulsel) disimpulkan terjadi kerugian negara sebesar Rp 21 miliar dari total anggaran Rp 38 miliar yang digunakan dalam proyek pembebasan lahan bandara tersebut. Meski belakangan nilai kerugian itu dianulir setelah dilakukan audit ulang oleh BPKP Sulsel. Dimana kerugian ditetapkan hanya senilai Rp 7 M lebih.

Anggaran proyek sendiri diketahui bersumber dari dana sharing antara APBD Kabupaten Tana Toraja dan APBD Propinsi Sulsel. Kesalahan pembayaran dalam proyek pembebasan lahan tersebut dikuatkan oleh putusan perdata dari pihak yang mengaku sebagai pemilik lahan, namun tak mendapatkan haknya. Malah pihak yang bukan pemilik lahan justru menerima pembayaran ganti rugi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya