Liputan6.com, Bandung Ketua Panitia peringatan Hari Sumpah Pemuda dengan tema Satu Indonesia Kita yang diselenggarakan PDI Perjuangan, Junico Siahaan mengaku menerima uang Rp250 juta dari Bupati Cirebon nonaktif, Sunjaya Purwadisastra. Namun uang tersebut menurutnya belum pernah digunakan dan sudah dikembalikan ke kas negara melalui KPK.
Anggota DPR itu mengungkapkan hal itu ketika menjadi saksi atas terdakwa Bupati Cirebon nonaktif Sunjaya Purwadisastra terkait kasus penerimaan hadiah atau janji terkait mutasi jabatan, proyek, dan perizinan di Kabupaten Cirebon Tahun Anggaran 2018 di Pengadilan Tipikor Bandung, Rabu (13/3/2019).
Dalam persidangan, pria yang akrab disapa Nico itu dihadirkan bersama lima saksi lainnya yang merupakan pejabat Pemkab Cirebon dan seorang kader PDIP lainnya. Nico pun mengaku tidak mengetahui jika uang sumbangan itu bersumber dari uang suap.
Advertisement
Jaksa penuntut umum dari KPK awalnya menanyakan hubungan Nico dengan terdakwa Sunjaya hingga proses pemberian sumbangan senilai Rp250 juta. Jaksa juga bertanya soal hubungan Nico dengan terdakwa bekas Bupati Cirebon Sunjaya. Hal tersebut menjadi penting, guna menyingkap siapa inisiator dari pengiriman uang sebesar Rp250 juta tersebut.
"Hubungan saya hanya sebatas sesama kader (PDIP)," kata Nico.
"Apakah saudara tahu ada kiriman uang dari terdakwa (Sunjaya) pada panitia acara Sumpah Pemuda pada PDIP?," tanya jaksa.
"Bukan pada PDIP, tapi pada panitia. Besarnya Rp250 juta, tunai," jawab Nico.
Jaksa kemudian menanyakan bagaiamana uang bisa dicairkan. Nico menjelaskan Sunjaya mengirimkan ke rekening panitia. Seperti biasa, dirinya kemudian menerima laporan jika Sunjaya telah mengirimkan Rp250 juta.
"Panitia hanya melaporkan ke saya kalau uang sudah masuk. Saya bilang oke, silakan digunakan dengan baik," kata Nico.
Namun, keesokan harinya, Nico mendapat kabar bahwa uang itu terindikasi korupsi Bupati Cirebon. Karena itu, lanjut Nico, ia sama sekali tak menyentuh duit tersebut. Ia pun mengaku jika uang tersebut sudah dikembalikannya saat diperiksa sebagai saksi di penyidik KPK pada November 2018.
Saksi lainya yang juga kader PDIP, Elvi Diana mengaku pernah diminta untuk mengirim nomor rekeningnya pada ajudan terdakwa Sunjaya, Deni Syafrudin, atas perintah Sukur Nababan.
"Itu terjadi waktu bupati (Sunjaya) ikut rapat (panitia) pada 21 Oktober 2018. Kemudian saya diminta oleh Pak Sukur Nababan untuk mengirim nomor rekening ke ajudannya bupati," kata Elvi.
Elvi melanjutkan, keesokan harinya pada 22 Oktober 2018, ia menarik uang Rp250 juta dari mesin ATM yang dengan Sanjaya sebagai pengirim. Uang tersebut ia bawa ke panitia, dan langsung menyerahkannya.
"Setelah ditransfer lalu saya dikabari (Sukur). Langsung saya tarik uangnya, saya serahkan pada sekretaris panitia Supriyanto. Di situ juga ada Sukur Nababan," ujarnya.
Kepala BPKSDM Jadi Saksi
Sementara Kepala BPKSDM Pemkab Cirebon Supardi Supriatna mengatakan untuk mutasi atau rotasi pejabat di Pemkab Cirebon, selalu melalui usulan Bupati Cirebon.
"Rata-rata dari usulan bupati," kata Supardi.
Selain itu, lanjutnya, semua yang dilakukannya dalam merotasi, mutasi dan mengangkat jabatan sesuai dengan disposisi yang ada. Baik itu disposisi dari kepala dinas, maupun dari bupati melalui ajudannya.
"Soal uang yang harus diberikan oleh pejabat yang naik pangkat,?" tanya JPU.
"Mereka yang sudah diangkat memberikan uang ke beliau (bupati) melalui ajudannya sesudah dilantik," ujarnya.
Sebelumnya, JPU KPK mendakwa Sunjaya selaku Bupati Cirebon periode 2014-2019 meminta uang pada sejumlah pejabatnya, salah satunya kepada Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kabupaten Cirebon, Gatot Rachmanto. Melalui ajudannya, Deni Syafrudin, Sunjaya menerima uang sebesar Rp100 juta untuk mempromosikan Gatot pada Juli 2018.
Setelah menerima uang dari Gatot selanjutnya Deni melaksanan arahan terdakwa Sunjaya untuk mentransfer uang sejumlah Rp250 juta guna keperluan sumbangan acara Hari Sumpah Pemuda Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Perbuatan Sunjaya pun didakwa melanggar tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 11 dan Pasal 12 huruf b Undang-Undang Republik lndonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Terdakwa terancam pidana dengan maksimal kurungan penjara 20 tahun.
Advertisement