Kisah Dramatis Dosen Asal Yogyakarta Selamat dari Penembakan di Selandia Baru

Simak kisah Irfan yang berhasil lolos dari kejadian keji di Selandia Baru.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 19 Mar 2019, 07:00 WIB
Diterbitkan 19 Mar 2019, 07:00 WIB
Dosen UAD
Dosen UAD menjadi penyintas dalam peristiwa penembakan masjid di Selandia Baru (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Liputan6.com, Yogyakarta Irfan Yunianto, dosen Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, bercerita tentang peristiwa penembakan masjid di Selandia Baru yang mengancam nyawanya pada Jumat, 15 Maret lalu. Lewat video conference di Ruang Rektor UAD Yogyakarta, Irfan yang sudah menginjak tahun ketiga berada di Selandia Baru menuturkan kronologis kejadian yang membuatnya trauma itu.

Ia masih ingat betul, ketika itu sekitar pukul 13.40 waktu setempat. Irfan berniat salat Jumat di Masjid Al Noor. Ia datang ke masjid menggunakan sepeda.

Hari itu, masjid tidak seramai biasanya. Ia berpikir karena seharian hujan. Jamaah tidak terlalu banyak dan ruangan salat utama juga terlihat lengang.

Jaketnya basah. Irfan yang biasanya langsung menuju ke ruang salat utama, justru memilih untuk salat di ruangan salat kecil yang biasa digunakan untuk pertemuan di masjid.

"Waktu itu saya berpikir, mau meletakkan jaket basah, kalau di ruang utama akan mengganggu jamaah lain," ucapnya, Senin (18/3/2019).

Khotbah Salat Jumat berjalan lima menit, ia mendengar suara ledakan dua kali. Irfan menyangka ada trafo yang meledak. Namun, sangkaannya secara cepat berganti setelah suara keras itu kembali menderu berkali-kali.

Ia sadar. Itu suara tembakan. Ia berlari ke arah pintu keluar darurat yang berada di dekatnya. Pintu itu langsung terhubung dengan tempat parkir kendaraan.

Irfan panik. Di sekitarnya tampak sejumlah jamaah yang juga lari dan berusaha menyelamatkan diri. Mereka memutuskan untuk lompat pagar. Di balik pagar ada rumah penduduk.

"Tinggi pagar sekitar dua meter, karena kesulitan kami naik ke atas mobil yang diparkir untuk dapat melompati pagar," ucapnya.

Di tengah kekalutan, ia melihat beberapa jamaah dan dua orang yang terluka punggung dan kakinya. Ketika itu ia langsung menghubungi supervisor di kampus tempat ia menempuh pendidikan S3, University of Otago.

Ketika menelepon, Irfan berulang kali mengangkat ponselnya ke atas. Ia berharap orang yang dihubunginya ikut mendengar suara tembakan yang masih berlangsung. Irfan memperkirakan penembakan berlangsung sekitar lima sampai enam menit.

"Saya juga menghubungi KBRI tetapi ternyata masih Jumatan, saya juga menghubungi teman yang ada di laboratorium, tujuannya supaya jangan ada yang mendekat ke daerah Masjid Al Noor," kata Irfan.

Setelah 20 menit bersembunyi di halaman belakang rumah, ia bersama dengan 15 jamaah dan dua korban yang terluka bersembunyi di dalam rumah penduduk. Di sana, mereka juga memantau media sosial dan melihat tayangan langsung pelaku yang merekam aksi penembakan masjid di Selandia Baru.

Polisi datang ke dalam rumah, memeriksa identitas jamaah, serta mengevakuasi sekitar pukul 18.30 waktu setempat. Irfan pun diantar pulang oleh polisi satu jam kemudian.

 

Berusaha Melupakan Peristiwa Penembakan

Dosen UAD
Dosen UAD menjadi penyintas dalam peristiwa penembakan masjid di Selandia Baru (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Irfan mengaku kondisinya sebagai penyintas baik-baik saja. Secara fisik ia tidak terluka, akan tetapi ia menyadari secara psikis memerlukan waktu untuk sembuh. Peristiwa itu masih terasa di benaknya.

"Sampai saat ini saya merasa bersyukur, dukungan berdatangan dari pemerintah setempat, universitas, dan rekan," tuturnya.

Menurut Irfan, kejadian penembakan masjid di Selandia Baru sudah menjadi isu nasional di negara itu. Bukan lagi peristiwa lokal Christchurch Wellington saja.

Hari ini ia juga memberanikan diri datang ke kampus. Ia tetap bertekad menyelesaikan studi Doktor jurusan Biologi.

Irfan juga sudah mengunjungi rekannya yang terkena luka tembak. Ia berpendapat aksi terorisme ini seolah ingin menunjukkan kepada dunia bahwa tidak ada tempat yang aman di muka bumi.

"Padahal Selandia Baru selama ini dianggap sebagai negara yang aman dari aksi semacam itu," ujar Irfan.

 

Banjir Simpati Warga Setempat

Dosen UAD
Dosen UAD menjadi penyintas dalam peristiwa penembakan masjid di Selandia Baru (Liputan6.com/ Switzy Sabandar)

Anisa Nur Hasanah juga bercerita tentang pengalamannya di Selandia Baru pasca kejadian penembakan masjid. Nisa adalah anak dari dosen UAD Yogyakarta yang sedang menempuh pendidikan S2 di Faculty of Engineering University of Auckland.

Nisa baru satu bulan berada di Auckland City. Lokasi tempat tinggalnya berada di North Island alias pulau yang berbeda dari Wellington yang berlokasi di South Island.

Meskipun demikian, dampak penembakan masjid juga terasa di daerahnya. Pasca kejadian, aktivitas masjid di sekitarnya ditutup demi keamanan. Banyak polisi berjaga-jaga.

Ia juga melihat warga setempat yang bersimpati dengan meletakkan karangan bunga di masjid sekitar Auckland.

"Sejauh ini kondisi sudah kondusif, sebagian masjid sudah diizinkan beraktivitas tetapi ada satu masjid besar yang masih ditutup dan dijaga," kata Nisa.

Rektor UAD Kasiyarno menuturkan Irfan bersekolah di Selandia Baru karena mendapat beasiswa dari LPDP. Ia tidak menyangka peristiwa ini terjadi karena Selandia Baru selama ini dikenal sebagai negara yang aman.

Kasiyarno juga tidak akan menarik Irfan  kembali ke Indonesia, melainkan memberi kesempatan untuk menyelesaikan  pendidikannya.

"Pelaku juga sudah ditangkap, semoga dihukum sesuai perbuatannya," ucap Kasiyarno. 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya