'Boh', Ini Bahasa Aceh untuk Telur Bukan Alat Kelamin

Hati-hati menggunakan bahasa Aceh, karena terlalu banyak padanan kata, bisa salah arti.

oleh Rino Abonita diperbarui 20 Mar 2019, 05:00 WIB
Diterbitkan 20 Mar 2019, 05:00 WIB
Menjadi orang yang disukai (5)
Ilustrasi pembicaraan orang yang seperti saling bercermin (mirroring). (Sumber Pixabay)

Liputan6.com, Aceh - Bahasa memiliki beberapa ciri umum, salah satunya keunikan. Keunikan bahasa dapat ditemukan pada bahasa apa saja, termasuk bahasa Aceh.

Liputan6.com mengulas selapis keunikan bahasa Aceh. Ulasan mencakup penggolongan kata, termasuk hitungan, penyebutan bisul dan bau tak sedap.

Pertama, kata penggolongan 'ekor', misal satu ekor atau seekor. Orang Aceh tidak menyebut 'iku' atau 'ekor' tetapi 'boh' yang mewakili kata 'buah' dalam bahasa Indonesia, misal, sa boh manok, berarti satu ekor ayam.

Perlu diketahui, orang Aceh tidak punya penyebutan khusus untuk 'telur'. Telur digantikan 'boh' atau 'buah', misal boh manok berarti telur ayam, atau sa boh boh manok berarti satu butir telur ayam.

Menariknya, 'boh' juga berarti penis. Sementara pelir disebut kréh, dan boh kréh mencakup keduanya.

"Bahkan semua yang agak lonjong di bagian fisik manusia disebut buah, contoh boh idong hidung, boh mieng pipi. Demikian juga buah-buah juga di sebut 'boh' dalam bahasa Aceh. Contoh boh mamplam berarti mangga," jelas Hamdani Mulya, guru yang menulis buku 'Bahasa Indatu Nenek Moyang Ureueng Aceh' kepada Liputan6.com, beberapa waktu lalu.

Sejatinya, 'boh' sebagai kata penggolong digunakan hampir untuk semua hitungan. Namun, untuk hitungan daun, pohon, dan biji-bijian, penyebutannya berbeda, misal satu helai atau sehelai daun disebut si oen bukan sa boh oen.

Untuk pohon, penyebutannya 'bak' atau batang dalam bahasa Indonesia, misal satu batang pohon disebut si bak sementara cabang pohon disebut krek atau si krek berarti satu cabang. Untuk bij-bijian, kacang, misalnya, digunakan are, contoh, si are berarti satu bambu.

Kata 'si' dalam kata 'si oen, si bak, atau si are' adalah bentuk terikat 'se' dalam bahasa Indonesia. Kata si-oen atau si-bak, dan pelbagai turunannya, seperti si-uroe, si-buleuen, si-thon, yang artinya satu hari, satu bulan, dan satu tahun, sejatinya ditulis terikat.

Contoh, sioen, sibak, siuroe, sibuleuen, dan sithon, jika pun dalam bahasan sebelumnya ditulis dengan bentuk tidak terikat, tujuannya agar lebih mudah diketahui mana pewatas dan mana inti frasa.

Ada baiknya pelajari bilangan dalam bahasa Aceh agar bahasan di atas bisa dipraktikkan. Bilangan satu sampai sepuluh dalam bahasa Aceh adalah, sa, dua, lhee, peut, limong, nam, tujoh, lapan, sikureueng, dan siploh, selanjutnya, ploh untuk puluhan, blah untuk belasan, reutoh untuk ratusan, dan ribee untuk ribuan.

 

5 Nama untuk Satu Penyakit

Ilustrasi pribadi yang disukai
Ilustrasi pribadi yang disukai orang walau tanpa berbicara. (Sumber Flickr)

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Edisi V memperkenalkan 3 nama bisul. Bisul lada untuk yang kecil, bisul sabut untuk yang besar, dan bisul selinap untuk bisul yang tidak pecah melainkan melisut saja.

Bahasa Aceh lebih bervariasi. Ada 5 nama bisul, dan masing-masing bergantung di mana bisul itu terletak.

"Jika tumbuh di pinggul disebut tumuet. Ini bisul secara umum. Bisul di kepala peuracut, di ketiak bireeng, di kelopak mata geuluntie, di ujung jari cut," sebut Hamdani.

Kata cut di sini bukan lakab kehormatan untuk perempuan Aceh dari trah bangsawan. Cut untuk bisul tidak memandang jenis kelamin, jadi berlaku bagi siapa saja, baik laki-laki atau perempuan, asal mengalami bisul di ujung jari.

9 Bau Tak Sedap di Aceh

Ada 9 nama bau tak sedap di Aceh. Sama seperti sebutan bisul yang bergantung pada letak, penyebutan bau tak sedap bergantung asal bau tak sedap tersebut.

Untuk bau tak sedap secara umum disebut be khep, di mana 'be' berarti bau. Be khep menunjuk semua bau tak sedap yang tercium indera penciuman.

Untuk bau tinja atau bangkai disebut bhe khieng. Ada pula be phong, yakni bau baju yang tanggung kering, atau yang sedang dijemur, tetapi terpaksa diangkat dari tali jemuran karena hujan.

"Be hanggui untuk bau gapah hewan; be hanyie bau amis; be khoeh bau kambing jantan atau orang malas mandi; be khop bau ikan atau daging yang dijemur, namun belum kering, atau yang hampir membusuk; be banga bau air yang dibakar terik matahari; dan be meuhoeng bau sesuatu yang pahit atau bau daki," sebut Hamdani.

Perlu dicatat, bahasan ini tidak mewakili dialek yang dipakai orang Aceh secara keseluruhan. Negeri berjuluk Serambi Makkah punya sejumlah suku selain suku Aceh, yaitu, Aneuk Jamee, Devayan, Haloban, Lekon, Sigulai, Alas, Batak Pakpak, Gayo, Kluet, Singkil, dan Tamiang.

Dialek di atas berasal dari pesisir utara Aceh, yakni Pasai, Peusangan, dan Pidie. Ketiga dialek lazim digunakan masyarakat Aceh dalam komunikasi resmi.

"Asal mula perkembangan bahasa Aceh berasal dari dialek Pasai. Pasai merupakan pusat perkembangan bahasa dan sastra Aceh yang menjadi pusat peradaban Islam Asia Tenggara," ungkap guru salah satu SMA di Lhokseumawe itu.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya