Jumat Agung di Kutoarjo, Dimaknai Relasi Pemimpin dan Kekuasaan

Jumat Agung mengingatkan bahwa manusia harus menyikapi hidupnya sebagai sebuah anugerah, sehingga ketika menjadi pemimpin akan memiliki skala prioritas.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 20 Apr 2019, 09:30 WIB
Diterbitkan 20 Apr 2019, 09:30 WIB
jalan salib
Visualisasi ketika Yesus memanggul salib dan menerima penghinaan serta pengingkaran dari rakyat yang sebelumnya mengangkat sebagai raja. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Kutoarjo - Perayaan Paskah di Paroki St Yohanes Rasul Kutoarjo disatukan dalam sebuah rangkaian. Diawali dari Kamis Putih (mengenang Perjamuan Terakhir Yesus Kristus), Jumat Agung (mengenang wafat Yesus), dan akan berpuncak pada Minggu Paskah (mengenang Kebangkitan Yesus).

Rangkaian peringatan Paskah tahun ini, bersamaan dengan perhelatan besar bangsa Indonesia, Pemilu serentak. Pilpres, Pileg. Pemilu paling rumit dan paling besar di dunia. Romo Widyo Lestari MSC, pastur paroki Kutoarjo menyebutkan bahwa peringatan tahun ini berbicara tentang hubungan kekuasaan dan kepemimpinan.

"Pelajaran dari kepemimpinan Yesus, ada tiga hal. Pertama adalah sikap, kedua perhatian, dan ketiga penempatan skala prioritas," kata Romo Widyo kepada Liputan6.com, Jumat 19 April 2019 usai misa peringatan Jumat Agung.

Dari tiga hal itu, romo Widyo memberi penjelasan bahwa sikap seorang pemimpin haruslah mampu memberi teladan. Segala ucapan, tindakan harus bisa diteladani oleh rakyatnya.

"Jika pemimpinnya senantiasa bersikap rendah hati, maka ia akan mudah mengajak rakyatnya juga bersikap hal yang sama," kata Romo Widyo.

Penjabaran yang kedua adalah dengan menunjukkan kemauan berkorban. Pemimpin yang ideal akan berkorban apa saja demi rakyatnya. Bahkan ketika ia dihina, dipermalukan, dianggap gila, ia akan menerima dan tetap bersikap rendah hati.

Segaris dengan peringatan Jumat Agung, seorang pemimpin harus memiliki syarat yang ketiga.  Adalah memiliki skala prioritas dalam hidupnya. Ia akan bisa mendahulukan hal-hal yang sangat dibutuhkan rakyatnya dan mengesampingkan ambisi pribadi untuk berkuasa dan hanya mengatur saja.

 

 

Umat Katholik Ikut Bertanggungjawab

jalan salib
Visualisasi penyaliban Yesus sebagai puncak pengorbanan seorang pemimpin yang mengesampingkan ambisi. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

"Yang jelas, dari Paskah bisa dimaknai bahwa hidup adalah anugerah. Syukur adalah ekspresi atas limpahan anugerah itu. Biasanya para pemenang kehidupan adalah manusia yang selalu bersyukur atas segala hal, sehingga anugerahnya bertambah menjadi kebahagiaan," katanya.

Namun, jika menyimak keteladanan Yesus, bisa dimaknai bahwa hidup adalah panggilan. Semua profesi, status sosial harus dimaknai sebagai sebuah jalan menuju kekudusan. Itulah yang akan membuat manusia lebih bermakna, dan membedakan dengan penghuni semesta lainnya.

"Yang terakhir, hidup dimaknai sebagai perutusan. Ini berarti semua manusia diminta terlibat dalam membangun peradaban masyarakatnya, dimanapun ia berada," kata Romo Widyo.

Artinya, sesederhana apapun manusia itu akan menyumbangkan apapun agar membawa kebaikan. Manusia akan menjelma menjadi tanda kasih Tuhan.

"Maka, tak akan ada kebencian, pemujaan berlebihan. Umat katholik meskipun tidak banyak, diharapkan mampu meneladani pengorbanan Yesus. Ikhlas diangkat sebagai raja saat Minggu Palma, hingga dipermalukan, dihina, disiksa pada saat Jumat Agung yang berpuncak pada kematian," kata Romo Widyo.

Sudahkah pemilu tahun ini memberi makna kehidupan sesuai spirit Paskah?

Simak video pilihan berikut:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya