Sepak Terjang Solatun: Hasutan People Power, Hoaks Bom dan Edit Wajah Jokowi

Solatun dijerat Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 Undang-undang No 1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana dengan ancaman hukuman 10 tahun bui. Tak menutup kemungkinan, pasal yang diterapkan bisa bertambah seperti pasal di UU ITE.

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 11 Mei 2019, 21:00 WIB
Diterbitkan 11 Mei 2019, 21:00 WIB
Dosen Penyebaran ujaran kebencian
Polisi menggelar ekspose kasus dugaan ujaran kebencian di Mapolda Jawa Barat. (Huyogo Simbolon)

Liputan6.com, Bandung - Solatun Dulah Sayuti (55), tersangka kasus ujaran kebencian yang mengunggah ujaran kebencian dan hasutan people power di Facebook, mengakui kesalahannya.

Dosen pascasarjana di salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung itu ditangkap Ditreskrimsus Polda Jawa Barat, Kamis (9/5/2019) malam.

Kini penyidik tengah medalami dan mengumpulkan konten-konten yang diunggah Solatun di media sosial, terutama di Facebook. Diduga kuat unggahan Solatun di media sosialnya kebanyakan berisi hoaks dan ujaran kebencian.

"Iya, yang bersangkutan selalu menjadi provokator," kata Direktur Ditreskrimsus Polda Jabar Kombes Samudi via pesan singkat, Sabtu (11/5/2019).

Berdasarkan sejumlah tangkapan layar unggahan Solatun di Facebook-nya, terdapat konten mulai dari hoaks bom Surabaya hingga editan foto wajah Presiden Jokowi.

"Atas konten-konten di media sosial, baru sekarang dia diperiksa," ujarnya.

Kepala Bidang Humas Polda Jabar Kombes Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan, pihaknya akan mendalami konten-konten hoaks dan ujaran kebencian yang diunggah oleh Solatun.

"Memang itu yang kita dalami. Ada beberapa (konten) nanti kita kumpulkan dan inventarisir melalui proses penyidikan," kata Truno.

Diancam 10 Tahun Bui

Dosen penyebar ujaran kebencian
Polisi menggelar ekspose kasus dugaan ujaran kebencian di Mapolda Jawa Barat. (Huyogo Simbolon)

Solatun sendiri dijerat Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 15 Undang-undang No 1 Tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana dengan ancaman hukuman 10 tahun bui. Tak menutup kemungkinan, pasal yang diterapkan bisa bertambah seperti pasal di UU ITE.

"Itu kan dia mendistribusikan lewat Facebook, untuk mengungkapnya nanti kita butuh ahli penyidik. Pasal bisa dimasukkan di proses penyidikan," kata Truno.

Dalam keterangannya di Gedung Ditreskrimsus, Solatun mengaku tidak berniat menyebar kebencian dan membuat gaduh.

Unggahan status Solatun di Facebook pada Kamis (9/5/2019) pagi mengomentari people power.

"Harga Nyawa Rakyat jika people power tidak dapat dielak: 1 orang rakyat ditembak oleh polisi harus dibayar dengan 10 polisi dibunuh mati. Menggunakan pisau dapur, golok, linggis, kapak, kunci roda mobil, siraman tiner cat berapi dan keluarga mereka," tulis Solatun. 

Menurutnya, informasi dari video menyebutkan bahwa kesiapan polisi sekian pucuk senjata per sektor, per resort dan seterusnya. Kemudian, kata dia, ada rasionalisasi kalau ketika ada benturan polisi dengan rakyat maka 1 banding 10.

"Kira-kira gambarannya demikian karena kalimatnya panjang sekali saya ikut membaca saja," katanya.

Solatun mengakui perbuatannya salah karena menyebar informasi keliru tersebut. Dirinya khilaf dan malu telah menyebarkan informasi tersebut.

Sebagai dosen, dia pun meminta maaf atas kasusnya. "Saya dosen pascasarjana, maafkan jika ini membuat kegaduhan," ujarnya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya