Toleransi Beragama di Kampung PKI

Argosari, desa terpencil di Kalimantan Timur menjadi tempat pembuangan tahanan politik yang diduga terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI).

oleh Abelda RN diperbarui 12 Mei 2019, 14:00 WIB
Diterbitkan 12 Mei 2019, 14:00 WIB
Kampung PKI
Dua eks tapol beribadah d Gereja Argosari Kutai Kertanegara, Kaltim. (Liputan6.com/ Abelda Gunawan)

Liputan6.com, Kutai Kertanegara - Argosari, begitu namanya. Kampung terpencil di Kalimantan Timur itu menjadi tempat penampungan tahanan politik yang terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI). Kasarnya, mereka dibuang ke desa itu hanya untuk dilupakan. 

Kini ada sekitar 167 KK di Argosari yang hampir semuanya tertutup terhadap wartawan dan pemberitaan. Cerita masa lalu langsung mereka tolak. Namun Liputan6.com berkesempatan bertemu dengan Maman Sudana (76), saksi hidup dan pelaku sejarah keberadaan Argosari. Sejak awal bertemu saat sedang beribadah di Masjid An Naas Argosari, dirinya sudah mewanti-wanti untuk tidak membicarakan cerita kelam masa lalu.

"Saya tidak mau bicara politik, sudah bosan. Lebih baik bicara soal keagamaan saja," kata Maman kepada Liputan6.com, Jumat (10/5/2019).

Maman merupakan salah seorang eks tapol Argosari yang jumlahnya kian menyusut. Faktor usia yang membuat mereka satu per satu berpulang sejak Argosari beridir pada 1970.

"Sudah banyak yang meninggal dunia. Mungkin tersisa enam orang saja dari dulunya mungkin ratusan orang," ungkap Maman.

Maman yang asli Sunda merupakan korban konflik masa lalu. Tanpa persidangan dirinya langsung ditahan dan diasingkan ke Kalimantan, hingga akhirnya terdampar di Argosari.

"Biasanya yang sering cerita masa lalu itu Untung Suyanto, Sugito Kasirin, M Kapli. Kalau saya sudah malas mengingat lagi," katanya.

Maman mulai bisa 'move on', hidupnya kini fokus sepenuhnya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, dan mengurus Masjid An Naas Argosari.

"Kalau sudah seumuran saya ini, apa lagi yang mau dicari? Mencari ketenangan jiwa dengan menekuni kegiatan keagamaan lebih bermakna," ujarnya.

Maman mengatakan, suasana perkampungan sangat mendukung keinginannya menyingkir dari keramaian duniawi. Argosari sendiri dihuni oleh orang-orang yang senasib sepenanggungan dengannya.

Rata-rata mereka hanya ingin menghabiskan masa tuanya dengan tenang. Argosari bisa diibaratkan Indonesia kecil dengan beragam suku bangsa dan kepercayaan.

"Kami semua adalah keluarga yang saling mendukung satu dengan lainnya. Toleransi beragama tumbuh otomatis tanpa perlu diajarkan," papar Maman.

Maman mencontohkan, empati antar warga terlihat kala mereka ditimpa kemalangan. Tanpa harus diundang,  seluruh warga akan datang untuk memberikan dukungan.

 "Tanpa memandang agama dan suku di antara kami," ujarnya.

Memasuki Ramadan misalnya, mereka yang nonmuslim bertoleransi dengan tidak menggelar kegiatan secara berlebihan.

"Mereka menggelar acara di luar bulan Ramadan agar tidak mengganggu umat muslim," sebutnya.

Demikian pula saat perayaan Hari Raya Idul Fitri, kata Maman, mereka yang nonmuslim berbaur dan datang ke rumah orang Islam untuk sekadar mengucapkan selamat lebaran. Sebaliknya pula, orang Islam akan melakukan hal serupa saat mereka merayakan Hari Natal.

Pada prinsipnya, Argosari seperti keluarga yang dipersatukan kesamaan nasib. Maklum saja, mengingat mereka adalah eks tapol atau setidaknya anak turunan eks tapol PKI.

 

Kampung PKI
Warga Argosari dalam sebuah acara. (Liputan6.com/ Abelda Gunawan)

Kisah Lainnya

Kampung PKI
Suasana Kampung PKI, Desa Argosari, Kutai Ketarnegara, Kalimantan Timur. (Liputan6.com/ Abelda Gunawan)

Aloysius Paelan (78) eks tapol yang aktif di Gereja Katolik Santo Yoseph Argosari punya cerita yang sama. Mantan tentara yang membuka lembaran baru di lokasi penampungan.

Paelan sudah melupakan seluruh keluarga yang enggan mengakuinya. Istri dan anak kandungnya sudah menganggapnya meninggal dunia.

"Putra pertama akhirnya baru-baru ini mau mengakui keberadaan saya di sini. Sedangkan, anak kedua belum mau ke sini meskipun tahu bapaknya masih hidup di sini," keluh Paelan.

Kini, Paelan menemukan saudara pengganti. Mereka adalah para eks tapol Argosari yang jumlahnya kini bisa dihitung dengan jari.

"Mereka ini saudara-saudara saya di sini," ungkap Paelan.

Lantaran itu pula, Paelan menyadari arti pentingnya warga Argosari menggantikan keluarga kandungnya. Ia memahami kesamaan nasib mereka yang mempererat kekerabatan. Perbedaan tidak menjadi penghalang di antara mereka.

"Kami memang berbeda agama, tapi hubungan di antara kami semua tetap berjalan dengan baik," ujar pria asal Jawa Timur.

Paelan mengatakan, masyarakat Argosari saling menghormati pilihan agama masing masing. Meskipun begitu, hubungan antar tetangga pun dianggap penting sebagai wujud toleransi.

Meski menjadi kawasan eks tapol, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kukar tidak memberikan perlakuan berbeda terhadap Argosari.

"Semua itu masa lalu, sekarang ini tidak ada yang dibeda-bedakan seperti halnya daerah lain di Kukar," kata Kepala Humas Pemkab Kukar, Dafif Haryanto.

Para eks tapol memiliki hak sama seperti halnya warga Kukar lainnya. Mereka mengembangkan infrastruktur di seluruh desa dan kelurahan yang ada, termasuk daerah yang dulu digunakan untuk penampungan orang yang diduga terlibat PKI.

Apalagi, Kukar merupakan kabupaten kaya berkat ekploitasi migas di Blok Mahakam. Potensi pendapatan sektor migas menyumbang pemasukan kas sebesar Rp 5-10 triliun per tahun.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya