Liputan6.com, Bangkalan Desa Jaddih imejnya buruk sekali. Desa tempat kini saya tinggal ini terletak di Kecamatan Socah. Sekitar 30 menit dari pusat kota Kabupaten Bangkalan, Madura di Jawa Timur adalah desa yang identik dengan kriminalitas.
Bila berkenalan dan memberitahu dimana saya tinggal.Mereka umumnya mengajukan pertanyaan yang temanya tak jauh-jauh dari begal, peredaran narkoba dan aneka kriminalitas lain.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Imej buruk ini sudah melekat sejak dulu, bahkan jauh sebelum saya tiba pertama kali pada 2009. Ketika keluar malam misalnya, keluarga dan tetangga meminta saya menyalakan salah satu lampu sein dan membuka helm saat melintas di jalan sepi. Lampu sein dan buka helm adalah isyarat bahwa saya orang sekitar, kali aja sedang ada penjahat mengintai di jalan sepi yang saya lewati.
Padahal ada sisi unik dari desa yang mulai dikenal ke pelosok Nusantara setelah dibuka wisata Gua Pote pada 2015 silam. yaitu setiap rumah di Jaddih punya langgar atau musala. Tidak hanya di Jaddih sebenarnya, hampir sebagian besar desa di Bangkalan, kecuali desa pesisir, punya langgar pribadi, sekalipun letak masjid hanya selemparan batu atau bahkan disebelah rumahnya sekalipun.
Dulu, langgar kuno Madura dari kayu, berlantai bambu dan berkolong serta berwuwungan tinggi. Karena tidak hanya untuk salat, tapi juga tempat bersantai sehabis meladang, menemui tamu, bermusyawarah, hingga tidurpun di langgar, membuat lantai bambunya menjadi licin dan berkilap seolah dipernis.
Namun kini, keberadaan langgar kayu mulai langka, banyak direnovasi menjadi langgar modern dengan dinding bata berselimut keramik dan berwuwungan rendah. Kebanyakan orang sepuh tak suka renovasi itu meski lebih enak dipandang mata, tapi tak lagi nyaman untuk tidur siang karena pengap. Sementara langgar kayu lebih sejuk karena berkolong, dirasa lebih nyaman untuk berleha-leha.
Bila membangun rumah di pekarangan baru, orang Jaddih pasti membuat desain dimana langgar menyatu rumahnya. Sehingga berbentuk L dengan halaman luas dan memanjang. Kewajiban memiliki langgar ini tak memandang latarbelakang, mau petani, buruh, ustaz bahkan preman, harus ada langgar di tiap pekarangan agar hidup lebih jembar.
Hamka ke Madura
Buya Hamka, yang pernah dua kali mengunjungi Pulau Madura, pada 1934 dan 25 November 1959, menyebut langgar telah sejak lama menjadi ciri khas pemukiman orang Madura yang disebut Tanean Lanjeng atau kampong Meji.
Langgar, kata Hamka, telah menjadi bukti kuatnya keislaman warga Madura.Pulai Madura telah memeluk Islam sejak Islam pertama kali tiba di Pulau Jawa, jauh sebelum kerajaan Majapahit runtuh.
Letak geografis Madura yang dikelilingi lautan, punya andil besar pada cepatnya syiar Islam di 'pulau garam' ini. Ketika syekh dari Arab tiba di Indonesia khususnya pulau Jawa melalui jalur niaga, mereka kesulitan menyiarkan Islam di pusat kerajaan yang ada saat itu seperti kerajaan Mataram pertama Kalingga, Singosari, sampai kepada Majapahit karena kuatnya tradisi yang disebut Hamka tradisi mendewakan para raja.
Maka Syiar islam dimulai dari kawasan pesisir. Di Jawa Timur, penyebaran Islam pertama dimulai Dari jaratan, Giri, Gresik dan Tuban, langsung ke Madura. Keberhasilan syiar Islam itu ditandai dengan berdirinya kerajaan Islam pertama di Jawa yaitu Kerajaan Demak. Dan Madura menjadi satu-satunya wilayah di Nusantara yang kadar keislamannya murni 100 persen. Sunan Giri, punya jasa besar bagi tersebarnya Islam di Madura hingga Sulawesi.
"Kawan-kawan yang menyambut saya di Madura berkata dengan penuh kebanggaan, bahwa inilah satu-satunya pulau di Indonesia yang agamanya tidak bercampur! Pulau Sumatera - kata kawan itu - masih mempunyai daerah Kristen, yaitu di Batak! Pulau Sulawesi masih mempunyai daerah Kristen, yaitu di Minahasa dan Toraja! Pulau Kalimantan bagian pedalaman (Dayak) telah jadi Kristen! "Tetapi pulau kami 100% Islam!" kata kawan itu," tulis Hamka dalam 'Dari Perbendaharaan Lama,".
Bahkan, saking kuat keislaman warga Madura, tradisi-tradisi barat sulit masuk. Tradisi-tradisi lokal tetap dipertahankan dengan sangat ekstrim. Hamka menulis: "Misalnya saja tidak memakai peci atau kopiah jika sembahyang di mesjid masih akan mendapat teguran keras, mungkin akan dilempari batu!".
Â
Advertisement
Kampong Meji dan Tanean Lanjeng
Meski tradisi keislaman kuat, dokumen-dokumen Belanda tentang Madura antara tahun 1850 hingga 1940 menunjukkan kehidupan masyarakat Madura di masa lalu individualis. Salah satu pengaruhnya adalah gaya pemukiman atau tempat tinggal yang berkelompok.
Di Sumenep, pemukiman komunal ini disebut dengan istilah Tanean Lanjeng (halaman panjang), sedangkan di Bangkalan disebut dengan istilah kampong Meji. Yaitu pemukiman berkelompok-berkelompok dalam satu pekarangan kecil, terdiri dari empat hingga lima keluarga lengkap dengan ternaknya.
Rumah dibangun berjejer memanjang dan berhadap-hadapan. Biasanya rumah utama dibangun di sisi Utara dan di depannya atau di sisi selatan adalah dapur keluarga dan kandang ternak di belakang atau disamping dapur. Pola pembangunan rumah yang berjejer menciptakan sebuah halaman panjang atau Tanean Lanjeng.
Dan pagarnya dari tumbuh-tumbuhan yang punya nilai ekonomis seperti Mangga, Nangka hingga kedondong juga rumpun bambu atau tumbuhan lain yang daunnya bisa untuk sayur mayur atau pakan ternak. Dan sebelum pemukiman kian padat seperti sekarang, dahulu jarak antar pemukiman di Madura sangat jauh.
Kuntowijoyo -Sejarawan dan cerpenis- yang menulis disertasi tentang Madura dengan bahan utama tulisan adalah dokumen-dokumen Belanda tentang Madura yang kini tersimpan di museum Belanda, menyebut teritorial desa di Madura awalnya adalah kampung tunggal dengan satu keluarga. Kampung tunggal itu kemudian berubah menjadi subdesa atau kampong Meji karena ada keharusan pasangan yang baru menikah harus tinggal di rumah keluarga perempuan dan dibangunkan satu rumah baru.
Dengan pemukiman yang demikian itu, maka tiap individu hanya terikat dengan kelompok sosial yang terdekat yaitu mereka yang tinggal satu pekarangan kampong Meji atau Tanean Lanjeng. Longgarnya pertalian antar penduduk Madura itu ditandai juga dengan ketidakhadiran nenek moyang yang menjadi cikal bakal desa tersebut.
Jika Hamka menyebut langgar di Madura menunjukkan kiat keislaman penduduk Madura. Sebaliknya, dari kacamata sosial, Kuntowijoto menulis keberadaan langgar di tiap rumah, menunjukkan lembaga religius saat itu kurang berkontribusi dalam kehidupan sosial sehingga masyarakat Madura jarang berkumpul bersama, sehingga praktis Mesejit atau masjid hanya dipakai untuk menunaikan salat Jumat saja.
Hidup individual penduduk Madura juga dipengaruhi kebijakan keraton, diantaranya selalu mengubah-ubah pengelompokan masyarakat dan penyatuan desa baru demi kepentingan tanah apanege atau tanah percaton. Ini juga diperparah kebiasaan merantau orang Madura ke daerah lain untuk bekerja.
Â
Dari Catatan Peneliti Belanda
Menurut Kuntowijoyo, hidup individual akibat longgarnya pertalian antar warga di Madura itu menarik perhatian peneliti Belanda. Peneliti itu mencatat banyak sisi positif dalam gaya hidup tersebut yaitu rasionalitas ekonomi, kepemilikan tanah secara pribadi, kerja keras, hemat dan hidup sederhana. Namun hidup individual tersebut tak baik buat organisasi desa. Para Kliwon atau klebun jadi tak punya kekuatan di desanya.
Pada 1914 misalnya, Belanda lewat kepala desa membuat program peningkatan peternakan sapi atau lembu. Namun gagal karena klebun tidak bisa mengumpulkan dana dari masyarakat untuk membeli lembu jantan dan kepala desa pun harus menanggung akibatnya.
Pada 1905, Klebun Pejagan bahkan dipecat oleh Patih Bangkalan karena gagal mengajak masyarakat untuk berobat padahal saat itu Desa Pejagan sedang diserang wabah demam yang menakutkan karena menyebar begitu cepat.
Dampak lain dan mungkin paling tragis dari rendahnya pertalian sosial penduduk Madura adalah peristiwa meninggalnya Mbok Marwas di Desa Bandang Daya, Bangkalan Utara. Karena kesulitan menemukan orang yang mau menggalikan kuburan, jenazah Mbok Marwas dikuburkan sepuluh hari kemudian, itu pun setelah keluarga membujuk dan membayar beberapa orang yang kebetulan lewat dekat rumahnya untuk menggali kuburan.
Menurut peneliti Belanda, di pekarangan Mbok Marwas, sebenarnya terdapat lima rumah, namun sebagian besar penghuni sudah meninggal dan hanya tersisa Jumali dan Mbok Buriyam. Ketika Mbok Marwas mangkat, Jumali sedang merantau sehingga hanya tersisa Mbok Buriyam yang mengurusi jenazah.
"Tampaknya yang paling sering terlambat memakamkan orang yang meninggal atau keluarga yang dihuni dua atau tiga keluarga dalam satu pekarangan," tulis Kuntowijoyo dalam 'Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940.
Hidup individual penduduk Madura baru terkikis setelah Belanda menetapkan batas wilayah yang jelas antara desa. Sehingga kebersamaan dan solidaritas antar mereka lebih terasa. Kebersamaan itu diperkuat oleh kepala desa atau Kliwon -kini disebut Klebun- dengan membuat perayaan desa tahunan yang mempertemukan seluruh warga dan kegiatan upacara dan adat sehingga antar warga saling mengenal satu dengan yang lain.
Â
Simak juga video pilihan berikut ini:
Advertisement