Liputan6.com, Yogyakarta Nama Anggiasari Puji Aryati sempat melejit pada masa Pemilu 2019. Perempuan kelahiran Jakarta, 6 Agustus 1980 ini tercatat sebagai perempuan difabel pertama di Yogyakarta yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif DPR dapil DIY dari Partai Nasdem.
Pemberitaan tentang dirinya pun marak. Nyaris seluruh media massa mainstream mengangkat sosoknya. Tidak percaya? Buka saja mesin pencari Google, ketik namanya, dan sederet berita tentang Anggiasari bermunculan.
Gagal melenggang ke Senayan, bukan berarti perjuangannya berhenti. Ia mendapat kesempatan untuk terlibat langsung di dunia partai politik.
Advertisement
“Sebenarnya saat pertama kali dipinang untuk jadi caleg itu sempat ragu-ragu karena saya selama ini berkiprah di LSM, dan parpol serta LSM itu kerap berseberangan,” ujar Anggiasari kepada Liputan6.com, Kamis (20/6/2019).
Baca Juga
Akhirnya, ia berdiskusi dengan rekannya dan mendapat masukan untuk mengambil kesempatan itu. Anggiasari berkesimpulan, perjuangan mengubah kebijakan tidak bisa dilakukan dari luar, melainkan harus terlibat dalam sistem.
Sebagai seorang feminis yang difabel, isu-isu yang diperjuangkan pun berkaitan dengan difabel dan perempuan. Ia tidak menampik di Yogyakarta sudah terjadi terobosan di berbagai aspek sehingga lebih ramah difabel, seperti keberadaan komite disabilitas, Jamkesus, akses sejumlah bangunan pemerintahan ramah difabel, dan sebagainya. Namun, hal itu belum cukup, sebab Indonesia bukan hanya Yogyakarta atau Jawa saja.
“Bagaimana dengan di luar Jawa? Orang sering bilang akses umum saja banyak yang belum jadi, masih harus ngurusin difabel. Mengapa tidak dibalik perspektifnya, akses difabel jadi prioritas, non difabel pun secara otomatis bisa memanfaatkannya, bahkan lebih optimal,” ucap perempuan setinggi 105 sentimeter ini.
Ia mencontohkan, pada sebuah antrean, jika diberi standar ramah difabel, maka akan memperhitungkan pengumuman nomor lewat tulisan di layar, suara, dan cahaya. Meja dan kursi pun akomodatif untuk mereka yang difabel.
Menurut Anggiasari, meminta difabel untuk menjadi prioitas bukan sebuah bentuk arogansi atau eksklusivitas, melainkan berdasarkan pada pemahaman seluruh warga negara berhak atas layanan publik, tak terkecuali difabel yang merupakan bagian dari warga negara.
“Kalau persoalannya harus membongkar dan membangun ulang infrastruktur fisik, maka ini jadi tanda pengambilan kebijakan pembangunan sejak awal juga seharusnya melibatkan difabel,” tuturnya.
Anggiasari juga menaruh fokusnya pada perempuan difabel yang dua kali lebih rentan mengalami diskriminasi. Sebab, konstruksi social sampai saat ini belum sepenuhnya adil terhadap perempuan, terlebih jika perempuan itu difabel.
Misal, konstruksi sosial mengharuskan perempuan menikah. Maka, tidak sedikit perempuan, termasuk perempuan difabel, yang terobsesi dengan pernikahan, tanpa disertai pemahaman yang cukup mengenai konsep diri mereka. Hasilnya, perempuan difabel tidak memiliki daya tawar ketika pernikahan terjadi dan rentan menjadi korban KDRT.
Anggiasari mendirikan LSM Samasetara di Yogyakarta pada Oktober 2018 untuk mendukung perjuangannya. Ia ingin masyarakat memiliki kesadaran tentang isu inklusi. Isu inklusi sebenarnya tidak melulu berbicara tentang difabel, sebab segala macam bentuk keanekaragaman juga termasuk di dalamnya, seperti, etnis, ras, adat, agama, dan sebagainya.
Menerima Diri sebagai Kunci
Lahir sebagai bungsu dari dua bersaudara, Anggiasari mengalami dwarfisme atau little people karena terkena penyakit langka Achondroplasia. Sang ibu mengetahui kondisi anaknya yang berbeda ketika Anggiasari masih berumur empat bulan.
“Ibu saya yang sudah pengalaman merawat kakak saya sewaktu bayi heran ketika melihat jari saya yang tumbuhnya tidak seperti saat kakak saya sewaktu berumur empat bulan,” ucapnya.
Sang ibu berkonsultasi dengan dokter dan sang dokter menjelaskan dengan memberi dukungan yang sangat baik. Anggiasari mengulang cerita sang ibu kepadanya, dokter bilang otak bayi ini berkembang dengan baik, hanya ukuran tubuhnya saja yang tidak bisa besar dan sebagai ibu harus mendukung sang anak ketika sekolah.
“Beruntung sekali supporting system dari dokter dan orangtua sangat terasa, bahkan saya bersekolah di sekolah umum juga ibu saya yang memperjuangkan karena sekolah menyarankan untuk masuk SLB, dan ternyata secara akademik juga saya bisa mengikuti dan tidak ada masalah,” ujar Anggiasari.
Perundungan atau bullying juga dialaminya sejak duduk di bangku TK. Beragam ejekan dan cemoohan ditujukan kepadanya karena secara fisik tidak seperti anak kebanyakan. Satu dua kali, ia menangis, selebihnya Anggiasari memilih untuk bersikap masa bodoh.
Ia benar-benar mulai menerima diri sendiri saat duduk di SMP. Setelah peristiwa ia kerap dimintai uang oleh sejumlah teman-temannya berlalu.
“Kalau tidak kasih uang, nanti saya tidak diajak bermain atau tidak punya teman,” ucap perempuan yang mengenyam pendidikan di UGM, STBA LIA, dan UKDW ini.
Ia juga tidak menampik pernah dipandang sebelah mata saat memasuki dunia kerja. Anggiasari sempat bekerja di sebuah layanan publik di Surabaya. Memang ia masuk ke tempat itu karena diajak kerabatnya, setelah berulang kali melamar pekerjaan tetapi tidak pernah diterima.
“Banyak yang berpikir saya diterima bekerja di sana karena kasihan,” kata Anggiasari yang tetap berusaha membuktikan dirinya mampu.
Advertisement
Rasa Ingin Tahu Tinggi
Anggiasari memiliki rasa ingin tahu yang besar. Hal itu yang mendorongnya untuk terus belajar. Ia ingin pemahamannya tentang banyak hal membuat ia bisa menerima orang lain dengan adil.
“Pernah merasakan judgement membuat saya ingin menerima orang lain tanpa judgement karena people are people,” tuturnya.
Rasa ingin tahu yang tinggi juga membuatnya untuk pertama kali bergabung dengan lembaga non profit sembari mengerjakan tesis. LSM yang pertama kali diikutinya justru bergerak di bidang lintas iman, sesuai dengan jurusan yang dipelajarinya di pasacasarjana, teologia.
“Saya tidak kepikiran untuk bergabung dengan organisai difabel karena memang waktu itu tidak tahu, selama sekolah saya juga di sekolah umum, jadi akses ke difabel malah terbatas,” ujarnya.
Setelah bergabung di LSM itu, jaringannya meluas. Mulailah Anggiasari menyadari banyak bidang yang bisa ditangani.
Anggiasari pernah bekerja di Yakkum menanganani program development yang menaungi belasan rumah sakit di Jateng dan DIY serta tiga unit kerja. Ia juga terlibat di LSM Jerman, ASB, yang bergerak di bidang pengurangan risiko difabel dalam bencana pada 2016 sebagai koordinator komunikasi. Setahun kemudian, ia dibajak ke LSM Handicap International (sekarang bernama Humanity And Inclusion).
“Paling susah itu membangun kepercayaan dan memelihara kepercayaan adalah hal yang paling sulit. Sebagai difabel harus berupaya membuktikan dua kali lipat lebih keras ketimbang non difabel,” ucapnya.
Kehidupan Pribadi yang Penuh Pilihan
Anggiasari membagikan sekelumit perjalanan asmaranya. Ia mengaku pernah terobsesi dengan pernikahan seusai menyelesaikan pendidikan sarjananya. Namun, seiring berjalannya waktu, ia memperoleh banyak pemahaman tentang pernikahan dan keberadaan dirinya sekarang.
Anggiasari menyebutkan pernah berpacaran dengan sejumlah laki-laki yang berasal dari negara lain. Teman-teman sering meledeknya karena dia mencari bule.
“Padahal tidak seperti itu, saya naksir orang Indonesia selalu ditolak, giliran sama orang luar negeri justru saat sedang tidak mencari pasangan, mengalir saja,” ucapnya sembari tertawa.
Pernah salah satu pacarnya mengajak Anggiasari untuk menikah. Ia pun menjelaskan panjang lebar tentang kondisi tubuhnya.
“Saya pernah berkonsultasi dengan dokter, secara biologis saya normal, menstruasi seperti biasa juga, tetapi karena bentuk fisik yang berbeda sehingga jika hamil justru membahayakan sang ibu karena janin bisa mendesak jantung ibu,” kata Anggiasari.
Meskipun demikian, ia tidak melarang orang yang mirip dengannya untuk menikah dan memiliki anak. Menurutnya, menikah adalah pilihan dan ia memutuskan untuk tidak memiliki anak karena pertimbangan jangka panjang.
“Saya sudah menjelaskan ke pasangan saya, siap tidak jika punya anak kamu harus memilih kemungkinan terburuk, menyelamatkan nyawa ibu atau anak dalam kandungan, jika memilih anak, siap atau tidak membesarkan seorang diri, ya pertimbangan-pertimbangan panjang semacam itu,” kata Anggiasari.
Advertisement