Kisah Para Pemburu Rezeki dari TKA China

Sejak kemunculan TKA China di Morosi, Konawe, banyak warga lokal berburu kesempatan bisa berdagang di sana.

oleh Ahmad Akbar Fua diperbarui 23 Agu 2019, 10:00 WIB
Diterbitkan 23 Agu 2019, 10:00 WIB
Beberapa TKA asal China makan di warung warga lokal di Morosi, Konawe.(Liputan6.com/Ahmad Akbar Fua)
Beberapa TKA asal China makan di warung warga lokal di Morosi, Konawe.(Liputan6.com/Ahmad Akbar Fua)

Liputan6.com, Kendari - Kedatangan ribuan Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China di Kecamatan Morosi, Konawe, Sulawesi Tenggara dimulai sejak 2017. Mereka awalnya dianggap aneh, jadi perdebatan kaum pemuda, hingga bahan gosip ibu rumah tangga.

Namun, dengan kemunculan TKA disana, wilayah perkampungan di sepanjang poros Desa Purui, Kecamatan Morosi Kabupaten Konawe terlihat lebih ramai. Padahal, sebelumnya hanya ada beberapa rumah penduduk yang letaknya berjauhan. Tiga tahun belakangan, daerah ini mulai hidup. Banyak warga lokal dan pendatang mengadu nasib.

Jika sempat berkendara di jalur ini, terlihat toko-toko kecil, bengkel dan warung makan berdiri berjejer. Pada beberapa titik, terlihat sesak saling berdempetan. Meskipun cuma dari papan, semua pedagang bersaing meraup untung.

Beberapa warga lokal berhasil memakai cara jitu menggaet pembeli. Memajang nama toko dan barang jualan dengan bahasa mandarin.

Dwi Sri Wahyuningsih (29), pemilik warung makan seafood, menceritakan perjalanan keluarganya dari Kota Kendari hingga bisa berjualan di Desa Purui. Dengan suaminya Zainal (30), keduanya sudah setahun lebih membuka rumah makan di lokasi padat TKA itu.

Suaminya, nekat keluar dari koki pekerjaannya sebagai pada salah satu restoran dan hotel di Kota Kendari. Keduanya lalu pindah ke Morosi, kemudian mengontrak dan membuka usaha sendiri.

Sri mengungkapkan, menjual seafood menghasilkan untung yang cukup banyak. Dibanding daging sapi atau ayam, TKA China lebih gemar menyantap udang atau kepiting.

"Syukur, karena bukan cuma orang China. Warga lokal juga suka disini karena kami memasak menu beragam," ujar Sri.

Sri bercerita, harga seporsi makanan untuk udang dan kepiting dipatok berbeda antara pekerja lokal dan TKA. Alasannya, gaji TKA lebih banyak dibanding pekerja lokal.

"Kalau pekerja lokal, kami jual Rp 80 hingga 90 ribu untuk seporsi kepiting. Untuk TKA, kami patok Rp 120 ribu," kata Sri.

Kata Sri, TKA China suka datang bergerombol saat jam kerja selesai. Tidak cuma makan, kadang mereka ikut memesan bir, satu-satunya jenis minuman beralkohol yang diberi izin di wilayah itu.

Hal lain yang dibanggakan Sri, dia dan suaminya sudah mempekerjakan 5 orang karyawan dengan gaji cukup besar. Sebulan, karyawannya bisa digaji 3 hingga 5 juta rupiah.

Omsetnya juga bisa mencapai 4 sampai 5 juta rupiah perhari dengan kehadiran pekerja China. Salah satu kuncinya, mengerti bahasa mandarin yang biasa digunakan TKA.

"Saya biasa dengar mereka bercakap, kemudian belajar dari mereka saat sering nongkrong disini setiap hari,"pungkasnya.

Sri mengatakan, dia sudah mengerti kalimat-kalimat dasar mandarin yang biasa dipakai TKA China. Karena keahliannya itu, dia mengaku sudah memiliki langganan tetap.

Sewa Tanah Ikut Naik

Salah satu warung yang memakai tulisan bahasa mandarin.(Liputan6.com/Ahmad Akbar Fua)
Salah satu warung yang memakai tulisan bahasa mandarin.(Liputan6.com/Ahmad Akbar Fua)

Sejak perusahaan smelter nikel PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) berdiri awal 2017 di Morosi, pemilik tanah mulai pasang harga tinggi bagi para pedagang. Menjanjikan keuntungan, pedagang tak ragu meskipun harga sewanya tinggi.

Sebidang tanah ukuran 10x4 meter, bisa disewakan Rp 15 juta hingga Rp 25 juta pertahun. Supaya ringan, pedagang diizinkan mencicil setiap bulan.

"Dulu sebelum 2017, di jejeran toko ini masih hutan rimbun dan jarang orang tinggal. Sekarang ramai sekali," ujar Asma, salah seorang pedagang makanan.

Menurut Asma, harga ini sebanding dengan penghasilannya setiap bulan. Dalam seminggu saja, dia harus dua kali bolak balik Morosi-Kota Kendari untuk berbelanja kebutuhan warung.

"Stok cepat habis karena pengunjung banyak. Setiap 3 hari sekali saya berbelanja di kota," katanya.

Padahal data PT VDNI, jumlah TKA disana untuk Agustus 2019 hanya sebanyak 861 orang. Jumlah ini lebih sedikit dibanding pekerja lokal yang mencapai 8.975 orang.

"Para TKA ini, akan kembali ke negaranya jika habis masa kontrak. Namun, kehadiran mereka diakui para pekerja lokal memberikan pengaruh positif," ujar Aries, HRD PT VDNI.

Aries menambahkan, TKA China juga terkenal dengan etos kerja tinggi. Sikap disiplin dan ulet, menjadikan pekerja lokal banyak belajar.

"Misalnya, jam istirahat digunakan untuk tidur, tidak keluyuran. Saat makan ya makan. Mereka kerja teratur dan disiplin," ujar Aries.

Kadisperindag Sulawesi Tenggara, Saemu Alwi mengatakan, kehadiran PT VDNI di Sultra memberikan nilai tambah bagi pekerja lokal. Hampir setiap tahun, ada program magang bagi calon tenaga kerja.

"Meskipun demikian, faktanya belum semua pasar kerja di lapangan sudah dipenuhi oleh pencari kerja dengan kemampuan mereka," ujarnya.

Dia juga memastikan, ada pengawasan rutin dan khusus bagi pekerja asing. Disisi lain, dorongan terus diberikan kepada pekerja lokal agar berbenah dan menyamai kualitas TKA.

"Kami malah meminta perusahaan agar menambah kebutuhan tenaga kerja. Sehingga, kerja-kerja pemerintah membuat pelatihan bisa menjawab kebutuhan kerja disana," ujar Saemu Alwi.

Saksikan juga video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya