Low Cost Terminal untuk Gairahkan Industri Penerbangan

Pembangunan low cost terminal (LCT) di seluruh bandara khusus untuk melayani penerbangan low cost carrier (LCC).

oleh Abelda RN diperbarui 03 Okt 2019, 00:24 WIB
Diterbitkan 03 Okt 2019, 00:24 WIB
20160412-pesawat terbang
Ilustrasi pesawat terbang lepas landas dari bandara.

Liputan6.com, Jakarta - Industri penerbangan tanah air sedang di titik nadir melawan ketatnya kompetisi. Pemerintah pun diminta aktif menyelamatkan maskapai penerbangan dalam negeri agar tetap mampu bersaing.

“Pemerintah harus lebih serius membantu penyelamatan maskapai penerbangan nasional,” kata Anggota Komisi V DPR RI periode tahun 2014-2019, Bambang Haryo Soekartono, Rabu (2/10/2019).

Bambang merekomendasikan pembangunan low cost terminal (LCT) di seluruh bandara khusus untuk melayani penerbangan low cost carrier (LCC).

Pembangunan LCT dibarengi penekanan tarif biaya parkir, navigasi, passenger service charge (PSC), dan lain lain. LCT seperti itu sangat dibutuhkan dalam rangka menekan cost maskapai.

Bambang memberi pandangan, di berbagai negara, termasuk di Eropa, LCT dibangun untuk mengakomodasi kebutuhan publik terhadap penerbangan LCC.

Selain LCT, penting bagi pemerintah menekan keperkasaan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah pada level keekonomian khususnya bagi bisnis jasa angkutan udara. Salah satunya dengan memanfaatkan seluruh instrumen.

Maklum saja, komponen biaya operasional pesawat udara mayoritas menggunakan dolar AS.

“Dengan kurs Rp14 ribuan, beban biaya maskapai semakin berat. Saat kurs dolar AS semakin mahal maka semakin besar biaya maskapai,” ujarnya.

Di saat yang sama, pemerintah pun diharapkan tidak membuat regulasi yang berpotensi menambah beban maskapai penerbangan.

Masih berkaitan dengan penerbangan komersil, Bambang Haryo juga menyoroti kinerja AirNav, yang dinilainya masih minim. Menurut dia, produktivitasnya hanya sekitar 20-35 take off landing per jam. Padahal banyak bandara di negara lain yang sudah mencapai 75-100 take off landing per jam.

“Contohnya Bandara Heathrow di London, produktivitas per runway 100 take off landing per jam, sedangkan Bandara Soekarno-Hatta dengan tiga runway, target Kementerian Perhubungan hanya 118 take off landing per jam. Akhirnya, pesawat yang akan landing atau mendarat harus putar-putar, istilahnya holding, dan yang akan take off harus antre panjang,” cetusnya.

Walhasil, lanjut dia, konsumsi bahan bakar bertambah. “Waktu banyak hilang, airline dan konsumen juga dirugikan,” katanya.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya