Liputan6.com, Jambi - Sore itu belasan perempuan berbagi tugas, ada yang kebagian mencangkul, ada pula yang membersihkan rumput. Mereka yang sebagian besar kalangan emak-emak kini mendapat kesibukan baru bertani di lahan pekarangan belakang rumah.
Tanah lapang yang menghampar sekitar setengah hektare, mereka sulap menjadi lahan produktif. Tak hanya giat mengembangkan jahe merah, di lahan itu juga dikembangkan untuk pembibitan sayuran kangkung organik.
Bahkan untuk menghindari serangan hama babi hutan, mereka berinisiatif membuat pagar di sekeliling lahan. Di pojok lahan itu, mereka juga sedang mendirikan pondok yang dilakukan secara bergotong-royong.
Advertisement
Baca Juga
Kesibukan produktif yang dilakukan kalangan perempuan yang tergabung dalam Kelompok Wanita Tani (KWT) Bukit Siguntang Lestari di Desa Muara Sekalo, Kecamatan Sumay, Tebo, Jambi, itu telah mereka lakukan sejak tahun 2018.
Ketua Kelompok KWT Bukit Siguntang Lestari, Endang Suratmi (49) mengatakan, saat ini anggota kelompok yang ia pimpin berjumlah 14 anggota. Pada awal terbentuknya kelompok, menurutnya, cukup sulit dalam mengorganisasi supaya mereka bertani karena berbagai kesibukan emak-emak.
Namun, dengan pendekatan yang cukup intensif dan cara diiming-iming pembagian bibit jahe merah. Secara perlahan ibu rumah tangga mulai berminat, sehingga emak-emak di desa itu sepakat membentuk kelompok pengembangan jahe merah.
"Sekarang kami kompak, ibu-ibu di sini sudah kegiatan di dapur dan deres karet selesai baru kemudian berkegiatan di jahe," kata Endang kepada Liputan6.com saat ditemui di Desa Muara Sekalo, Tebo, Senin 25 November 2019.
Tak hanya mengembangkan di lahan milik kelompok, emak-emak di desa itu berinisiatif menanam jahe merah di sela lahan karet. Hal ini dilakukan untuk mencari sumber tambahan ekonomi baru di tengah merosotnya harga jual getah karet.
"Masyarakat antusias dengan tanaman jahe ini yang kemudian diolah menjadi wedang jahe bubuk. Mereka beli bibitnya di kelompok kami," ujar Endang.
Â
Jadi Wedang Jahe Hangat
Keberhasilan ibu rumah tangga telah dibuktikan mereka. Sekarang, sejak terbentuk beberapa tahun silam kelompok ini telah tiga kali panen raya jahe merah. Hasil panen jahe tak langsung dijual, melainkan mereka olah kembali.
Produksi jahe merah organik yang telah dihasilkan itu kembali dikembangkan menjadi produk turunan wedang jahe dalam bentuk bubuk. Dengan menjual dalam bentuk bubuk wedang jahe, kata Endang, mereka mendapat untung harga jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga jahe mentah.
Dalam 10 kilogram produksi jahe mentah setelah diolah menjadi bubuk minuman wedang jahe sebanyak 18 kilogram. Hasilnya menjadi lebih banyak karena ditambahkan komposisi campuran seperti gula pasir dan varian gula aren.
Jahe-jahe yang diolah menjadi bubuk itu mereka kemas dengan beragam ukuran kemasan, yaitu mulai dari kemasan 100 gram hingga 300 gram. Untuk kemasan 100 gram mereka jual dengan harga Rp10.000 dan Rp30.000 kemasan 300 kilogram.
Jahe atau nama ilmiahnya Zingiber Officinale Rosc merupakan tanaman herbal yang memiliki banyak manfaat dan bernilai ekonomi tinggi. Menurut situs Kementerian Pertanian keuntungan rata-rata yang bisa diperoleh setiap hektare tanaman jahe sekitar Rp21 juta.
Keuntungan yang didapatkan dari minuman khas penghangat tubuh itu, mereka gunakan kembali untuk pengembangan kembali kelompok dengan membeli alat produksi dan kemasan. Sementara sisanya masuk kembali ke dalam buku kas.
"Sekarang bisa sedikit membantu tambahan ekonomi keluarga, lumayan menambah uang jajan anak," kata salah satu anggota KWT, Susi.
Di samping emak-emak berkecimpung dengan tanaman jahe, mayoritas mereka mencari sumber pendapatan dengan menyadap karet. Menyadap karet itu biasanya dilakukan pada waktu pagi hari hingga siang.
"Ibu-ibu anggota kelompok sekarang kalau kumpul bahasanya jahe. Kami ingin membuktikan kalau ibu-ibu di desa juga produktif bertani," ujar Susi.
Â
Advertisement
Peningkatan Ekonomi Masyarakat Desa Penyangga TNBT
Desa Muara Sekalo merupakan desa yang cukup terpencil di pedalaman Kabupaten Tebo. Untuk mengakses desa tersebut, dibutuhkan perjalanan darat selama tujuh jam dari pusat Kota Jambi. Desa ini menjadi salah satu desa penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang mengalami ancaman deforestasi dan perambahan.
Sebelum perempuan ibu rumah tangga di desa tersebut membudidayakan jahe merah, mereka terlebih dulu mendapat pendampingan dan pelatihan dari WWF Indonesia-Jambi.
Fasilitator WWF Indonesia-Jambi Sofwan mengatakan, dalam program pemberdayaan masyarakat diberikan pelatih mulai dari tata cara menanam hingga menjadi produk turunan. Selain itu, mereka juga diberikan pelatihan pembukuan untuk menghitung pemasukan dan pengeluaran modal usaha.
"Yang pertama mereka kita kasih bibit 10 kilogram per anggota untuk di tanam di sela tanaman karet. Kemudian mereka kembangkan lagi di lahan kelompok, ada juga di pekarangan rumah. Saat ini perempuan di desa menjadi produktif," kata Sofwan.
Program pemberdayaan petani perempuan melalui budidaya jahe merah kata dia, bertujuan meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga sekaligus memberi pemahaman warga terkait keberlanjutan hutan.
Terdapat sejumlah desa yang menjadi penyangga TNBT di Tebo, yakni Desa Muara Sekalo, Pasir Mayang, Sungai Karang dan Desa Balai Rajo.Desa-desa tersebut telah diintervensi untuk mempersiapkan masyarakat untuk penghidupan lestari melalui peningkatan ekonomi keluarga, produktifitas lahan dan pengelolaan lahan yang berkelanjutan.
Beragam pemberdayaan itu dilakukan kepada 5 kelompok petani rubber, 3 kelompok wanita tani. Diantaranya mulai dari budidaya jahe merah, demplot tanaman sayuran dan budidaya madu serta budidaya jernang yang ditanam disela lahan karet.
"Kami juga mendorong supaya perekonomian masyarakat terus berkelanjutan dengan meningkatkan produktivitas lahan. Sehingga, kalau ekonomi masyarakat bagus dengan sendirinya mereka akan menjaga hutan," pungkas Sofwan.
Â
Â
Simak video pilihan berikut ini: