Liputan6.com, Semarang - Pandemi covid-19 tak mengubah kesibukan warga kampung Sumbersari, Wonolopo Mijen, dan kampung Ngadirgo Mijen di Kota Semarang. Warga sudah sibuk sejak dini hari.
Di waktu tiga per empat malam itu, warga dua kampung yang dikenal sebagai kampung jamu itu sudah memulai rutinitasnya. Salah satunya Suhanah yang selalu bangun pagi meracik jamu gendong.
“Tak bisa sembarangan dan memerlukan ketelatenan khusus. Bahan-bahan seperti kunyit, kencur, jahe, cabe puyang, kayu pepet, asam jawa, dan sambiroto diproses dengan telaten,” kata Suhanah.
Advertisement
Baca Juga
Perlakuan khusus juga kadang diberikan pada bahan itu, misalnya jenis rimpang yang selalu harus diangin-anginkan. Beberapa yang lain, ada pula yang harus disimpan dalam tempat kedap udara atau bahkan diproses ketika masih segar.
Di dua kampung ini, Sumbersari, Kelurahan Wonolopo Kecamatan Mijen dan kampung Ngadirgo Kelurahan Ngadirgo Kecamatan Mijen Kota Semarang memang mayoritas warganya adalah pembuat dan penjaja jamu tradisional di Semarang. Di Wonopolo, terdapat 50 orang perajin dan pedagang jamu tradisional, sementara di Ngadirgo ada 25 orang.
Awalnya jamu itu mereka jajakan dengan cara digendong. Ini sangat eksotis dan menjadi sebuah pemandangan yang seksi di kampung jamu dan kampung-kampung lain. Namun belakangan mengalami perkembangan, karena ada penjual jamu yang menjajakan dagangannya dengan sepeda atau sepeda motor.
Pusat Rimpang Semarang
Ketua Paguyuban Jamu Gendong Sumber Husodo Wonolopo, Kholidi mengaku bahwa pemilihan usaha jamu gendong di kampungnya karena terbukti telah membawa manfaat. Salah satunya lingkungan yang tertata dan jalanan berpaving bersih, merupakan swadaya warga, para penjual jamu itu.
"Diawali ibu-ibu yang menganggur ketika suaminya bekerja dan mencoba berdagang jamu gendong. Ternyata hasilnya luar biasa. Bahkan akhirnya menjadi penopang utama kampung," kata Kholidi.
Ngadirgo dan Wonolopo akhirnya menjadi produsen sejak dari hulu. Dua kampung ini benar-benar menjelma menjadi sentra jamu dari hilir hingga hulu. Tanaman bahan jamu berupa rimpang ditanam di pekarangan warga.
Temu lawak, kunyit, kencur, daun pepaya dan manjakani, cabai jawa, lempuyang dan beberapa bahan lagi, ditanam sendiri oleh warga maupun oleh kampung tetangga. Omzet per hari sungguh mencengangkan. Ada yang bisa mencapai 50 kilogram. Namun banyak pula yang memiliki omzet 10 kg perhari. Setiap hari, ibu-ibu penjaja jamu ini bisa membawa 15-20 liter jamu gendong. Ini ditunjang penelitian bahwa curcuma mampu meningkatkan daya tahan tubuh.
“Belakangan omset meningkat dengan adanya virus corona tak kuasa menyerang,” kata Kholidi.
Pemandangan seksi ibu-ibu menggendong jamu juga bergeser. Para penjual jamu banyak yang memanfaatkan sepeda, ada pula yang menggunakan sepeda motor. Bagi yang memakai motor bisa sampai 70 liter.
“Mereka membawa aneka jamu seperti beras kencur, gula asem, cabai puyang, daun pepaya, kunyit, manjakani, brotowali dan lainnya," kata Kholidi.
Simak video pilihan berikut:
Advertisement
Kejujuran Adalah Koentji
Kembali ke kisah Suhanah. Ia adalah pedagang jamu Ngadirgo mengaku jualan jamu lebih dari 30 tahun. Diawali ketika ia bekerja membantu peracik dan pembuat Jamu Gendong bernama mbok Rebi di Solo.
Ketika membantu mbok Rebi itulah Suhanah diajari cara meracik jamu. Bukan hanya mendapat ilmu meracik, namun juga strategi berdagang jamu gendong.
“Jual jamu itu kunci utamanya jujur dengan konsumen. Jangan ada campuran zat kimia dalam jamunya,” katanya.
Jika itu dilakukan, manfaat jamu akan terasa dan konsumen percaya. Suhanah mengaku sudah membuktikan dengan modal sepuluh ribu rupiah, digunakan untuk belanja bahan jamu dan peralatan seadanya.
“Saya bikin sendiri, meracik sendiri," kata Suhanah.
Paginya Suhanah diawali dari merebus air. Air? Ya air, karena seluruh proses itu memerlukan banyak air panas. Sambil menunggu air mendidih, biasanya bahan yang tersedia ditumbuk menggunakan lumpang.
"Bisa saja menggunakan blender, namun cita rasanya jelas berubah. Entahlah. Saya pernah coba pakai blender, tapi rasa beda. Tidak enak," kata Suhanah.
Anti Botol Plastik
Bahan yang sudah ditumbuk, kemudian diperas untuk diambil sarinya. Proses memeras ini ketika bahan sudah tak mengeluarkan cairan, dibantu dengan air panas. Baru kemudian perasan itu direbus, dicampur dengan Gula Jawa, atau bahan lain menyesuaikan kebutuhan.
Agak ribet ketika rebusan sudah jadi, harus segera dimasukkan ke dalam botol kaca yang sudah diberi garam. Kata Suhanah, jamu panas ataupun dingin tak boleh dimasukkan botol plastik. Itu bahaya.
"Merusak kualitas jamu dan menimbulkan penyakit akibat reaksi kimia. Jamu itu bikin orang sehat, bukan malah penyakitan," kata Suhanah.
Setiap hari, Suhanah membawa minimal 14 botol jamu yang dimasukkan dalam sebuah bakul dan digendong. Yang paling laris adalah jenis Beras Kencur dan Kunyit Asam. Belakangan Kunyit Asam dan Temu Lawak sangat laris karena memiliki kandungan curcuma paling tinggi.
Dua jenis jamu itu mendominasi hingga separuh dagangannya. Selain itu ia membawa pula jamu Cabai Puyang, Sambiroto, Daun Sirih, Pahitan (daun pepaya dan Brotowali).
"Untuk kunyit asam saya baya pakai jerigen. Akhir-akhir ini kebutuhan meningkat. Agar kompetisi sehat, ada pembagian wilayah dengan penjual jamu gendong lain," kata Suhanah.
Segelas jamu gendong dihargai Rp2-3 ribu. Dalam sehari omzet Suhanah bisa mencapai Rp 150-200 ribu. Uang itu kemudian dibelanjakan bahan-bahan pembuat jamu yang masih segar.
Untuk menjaga regenerasi, kini Ina anak Suhanah siap melanjutkan usaha jamu gendongnya. Suhanah sudah menularkan ilmu meracik jamu kepada Ina, dan berharap jika kelak ia sudah tidak kuat berjualan lagi, Ina lah yang akan meneruskan.
Advertisement