Ritus Mudik, Kangen Membawa Petaka

Ada perasaan yang kurang dalam batin dan religiositas seseorang jika belum pulang ke kampung halaman saat lebaran.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 21 Apr 2020, 07:00 WIB
Diterbitkan 21 Apr 2020, 07:00 WIB
Arus Balik di Stasiun Pasar Senen
Sejumlah pemudik membawa barang bawaan mereka setibanya di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Sabtu (8/6/2019). Volume penumpang arus balik melalui moda transportasi kereta api di stasiun Stasiun Senen mengalami lonjakan pada H+3 Lebaran. (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta - Mudik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti 'ke udik atau kembali kampung halaman'. Mudik biasa dilakukan masyarakat Indonesia saat bulan puasa atau menjelang hari raya tiba. Bukan sekadar tradisi, mudik telah menjadi ritus keagamaan. Ada perasaan kurang dalam batin dan religiositas seseorang jika belum pulang ke kampung halaman saat lebaran.

Tak ada yang tahu kapan pastinya tradisi mudik mulai ada dalam masyarakat Indonesia. Kemungkinan besar tradisi mudik muncul sejak urbanisasi menjadi fenomena sosial yang massal, yang dipengaruhi juga dengan kemunculan transportasi massal modern. 

Irsyad Ridho, pengkaji budaya Universitas Negeri Jakarta kepada Liputan6.com mengatakan, ada tiga faktor besar dalam kacamata budaya yang membuat mudik menjadi sesuatu yang penting dilakukan saat hari raya. Pertama, ikatan kekeluargaan yang masih sangat kuat dalam masyarakat urban.

"Keinginan untuk mudik kecenderungannya akan berkurang jika orangtua di kampung sudah enggak ada," kata Irsyad. 

Kedua, faktor nostalgia. Ada sesuatu yang hilang saat masyarakat urban meninggalkan kampung halaman untuk bekerja di kota. Berlebaran di kampung bisa mengembalikan suasana nostalgia yang selama ini hilang dalam kehidupan perantauan di kota. Faktor ketiga adalah citra 'romantik religius' dalam tradisi mudik yang dibentuk media massa dan iklan bisnis, sehingga orang terpengaruh untuk tetap mudik.

"Intinya budaya tertentu, seperti mudik, terbentuk dari perubahan kondisi sosial-ekonomi. Perubahan seperti urbanisasi di satu sisi dan ikatan komunitas kampung dan keluarga di sisi lain, menimbulkan budaya yang baru, yaitu mudik," ucap Irsyad.

Namun, pada masa pandemi virus Corona (Covid-19) seperti sekarang ini, tiga faktor tersebut suka tidak suka menjadi luluh. Hanya satu yang membuatnya tetap eksis, yaitu sikap egoisme. Atau bisa jadi situasi bangsa terkini memunculkan faktor ke-empat mengapa orang harus mudik, yaitu keterpaksaan.

Pandemi virus Corona (Covid-19) di banyak kota besar di Indonesia, tentu berimbas pada kehidupan perekonomian, termasuk banyak perusahaan yang merumahkan karyawan bahkan tanpa digaji. Dalam situasi ini, mau tidak mau, perantau yang terkena dampak, terpaksa harus mudik ke kampung halaman, karena alasan tak ada lagi biaya hidup.

Jika pemerintah tak sigap melihat situasi ini dan tidak mencari solusi jauh-jauh hari, jangan salahkan jika ratusan ribu orang dari kota-kota besar di Indonesia tetap mudik dengan berbagai cara meski telah dilarang.

Indonesia perlu mengambil pelajaran dari apa yang terjadi di Italia. Mudik yang dilakukan banyak orang dari wilayah Lombardy dan Veneto yang jadi episenter penyebaran virus corona di Italia saat sebelum pengumuman lockdown, membuat virus itu menyebar dan makin meluas ke daerah lain.

 

**Ayo berdonasi untuk perlengkapan medis tenaga kesehatan melawan Virus Corona COVID-19 dengan klik tautan ini.

Simak juga video pilihan berikut ini;

Pos Jaga Desa

Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Mendes PDTT) Abdul Halim Iskandar, dalam jumpa pers di Gedung BNPB, Minggu (19/4/2020) melaporkan kesiapan desa dalam memantau pergerakan pemudik di tengah pandemi virus corona atau Covid-19.

Setidaknya sudah ada 40.000 atau sekitar 54 persen desa di Indonesia yang sudah membentuk relawan desa demi mencegah penyebaran virus corona (Covid-19).

Dalam tugasnya, relawan desa juga diharuskan membentuk pos jaga desa, untuk memantau moblitas warga desa, baik dari dalam maupun keluar.

"Supaya memberikan rasa aman," katanya.

Desa yang sudah membentuk pos jaga desa sekitar 8.400an desa. Sementara ada 31.615 desa, 42 persen sudah melaukan pemantauan terhadap pemudik.

Pemudik yang datang dari luar desa harus diberikan status Orang Dalam Pantauan (ODP), dan perlu melakukan isolasi mandiri. Keterbatasan ruang isolasi mandiri di rumah, membuat relawan desa perlu menyiapkan ruang isolasi yang memanfaatkan fasilitas umum, seperti Gedung sekolah, balai desa, dan lainnya.

"Desa yang sudah menyiapkan ruang isolasi untuk ODP yang datang ke desa dengan fasilitasnya ada 8.954 desa, dengan fasilitas 35 ribu tempat tidur,” ungkap Abdul Halim.  

Dirinya juga mengatakan, berdasarkan ketetapan Permendes PDDT No 11 tahun 2019, dana desa bisa digunakan masyarakat desa untuk mengatasi virus corona (Covid-19).

Abdul Halim juga mengharapkan masyarakat desa memegang teguh filosofi gotong royong dalam penanganan pandemi ini. Hal itu perlu dilakukan agar permasalahan bisa cepat diselesaikan.

"Itu (gotong royong) salah satu filosofi yang hanya dimiliki bangsa Indonesia, modal dasar yang harus kita kembangkan terus," katanya.

 

Skenario Terburuk

Pos jaga dan filosofi gotong royong saja belum cukup untuk menghadapi skenario terburuk penyebaran virus corona hingga ke desa-desa. Jika pemerintah tak punya inovasi membendung gelombang arus mudik menjelang hari raya, pemerintah provinsi perlu menyediakan rumah sakit khusus bagi pasien virus corona (Covid-19).

Bahkan rumah sakit khusus itu perlu ada di tiap kabupaten dan kota. Rumah sakit ini antara lain bisa menggunakan rumah sakit yang sudah ada, atau mengalihfungsikan bangunan dan gedung fasilitas umum untuk diubah menjadi rumah sakit khusus pasien Covid-19.

Syahrial Syarif, Pakar Epidemologi UI sejak lama mengingatkan pemerintah provinsi untuk bersiap menghadapi skenario terburuk penyebaran virus corona di daerah.

Dirinya mengatakan, perbandingan kebutuhan rumah sakit di daerah untuk merawat pasien Covid-19 dengan gejala ringan-sedang dan berat harus 4 berbanding 1. Artinya, kalau provinsi punya 1.000 bed, perlu 4.000 bed untuk pasien ringan sedang.  

"Alihfungsi wisma atlet bisa jadi contoh. Namun Pemda harus memaksimalkan kerja sama dengan swasta yang ada juga," katanya. 

Kerja sama pemda dan swasta itu bisa menggunakan skema RS pemerintah dan swasta tipe B dan C digunakan untuk merawat pasien yang serius, sementara RS tipe D digunakan untuk pasien ringan dan sedang.

"Jika tidak cukup, baru bisa menggunakan fasilitas yang dialihfungsikan untuk merawat pasien sedang dan ringan," katanya. 

Skenario ini, kata Syahrial, paling tidak perlu dipertimbangkan daerah-daerah seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, dan Kalimantan Timur.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya