Liputan6.com, Aceh - Ramadan kali ini terasa getir bagi Marfika Sari serta keluarga. Pasalnya, rumah di mana gadis itu tinggal bersama orangtua serta saudara yang telah menikah tergerus erosi sejak November tahun lalu.
Dapur rumah Marfika menganjur ke landaian sungai yang kini bersulih menjadi tebing-tebing rendah, karena kikisan tanah. Nur Haiyun, ibu Marfika, terpaksa memasak di luar karena lantai di mana dapur berada telah longsor.
Advertisement
Baca Juga
"Di dapur, bukan nampak lagi, kita bisa mencuci kaki kita ke sungai waktu airnya meluap," kata Marfika.
Hal yang membuat ia waswas ialah saat musim hujan, seperti sekarang. Gadis tersebut mengaku takut, longsor bisa saja terjadi dengan tiba-tiba, lantas menyeret rumah mereka ke dalam sungai berarus deras saat semua orang sedang terlelap.
Namun, ayah Marfika, M Jali, memutuskan untuk tetap bertahan, kendati agak riskan rasanya tinggal di rumah yang sewaktu-waktu bisa saja remuk oleh longsor. Mereka beralasan tidak tahu harus menumpang ke mana.
"Masak di luar kurang lebih 3 bulan. Terus, pasang papan dekat kamar mandi sedikit, agar masaknya tidak di luar dikarenakan susah karena angin, dan tadi baru dibongkar lagi sekalian dengan kamar mandi," tutur Magfirah, kepada Liputan6.com, Senin malam (4/5/2020).
Tidak begitu dengan rumah nenek Marfika yang terpaksa dibongkar karena tidak layak lagi dihuni setelah dijangkau oleh erosi bantaran sungai. Sang nenek kini telah diungsikan ke rumah bibinya Marfika untuk sementara waktu.
Keluarga petani yang tinggal di Desa Alue Keumang, Kecamatan Panteu Ceureumen, Aceh Barat itu telah memindahkan sebagian barang-barang ke tempat lain. Ini dilakukan dengan jalan meminjam pakai salah satu ruangan dari taman kanak-kanak yang tidak digunakan lagi.
Simak Video Pilihan Berikut:
Erosi Berdampak pada Sejumlah Kepala Keluarga
Menurut Marfika, terdapat beberapa kepala keluarga yang mengungsi atau pindah karena erosi aliran sungai yang sealiran dengan irigasi Lhok Guci. Untuk saat ini, hampir belasan jiwa terdampak akibat peristiwa kahar tersebut.
Menurut warga setempat, Nur Perseh, setidaknya lima kepala keluarga memilih mengungsi atau pindah dari rumah. Jumlah tersebut belum termasuk rumah yang rencananya akan dibongkar oleh para pemiliknya menyusul peristiwa erosi yang kian tidak terbendung.
"Yang sudah pindah, rumah Jauhari, Budiyan, Usman, Po Neung, dan Razuan," sebut Nur, Senin malam.
Keluarga yang rumahnya telah dibongkar menaruh barang-barang yang mampu diselamatkan ke tenda yang dipasang atas bantuan warga. Satu tenda tambahan telah dipasang lagi pada Senin.
Advertisement
Quo Vadis Pemerintah?
Ayah Marfika diberi beberapa sak semen untuk menangani kerusakan yang diakibatkan erosi. Namun, bantuan ini dirasa belum signifikan.
"Kalau untuk tanggapan erosi tidak ada, paling tidak adalah antisipasi sedikit. Kalau sumbangan ada dikasih semen, itupun dana dari gampong untuk beli, bukan dana untuk bencana, karena mungkin kasihan," jawabnya, ditanyai sejauh mana reaksi otoritas setempat terkait peristiwa tersebut.
Keluarga Marfika beserta keluarga terdampak lainnya mau tidak mau harus menjalani bulan suci dengan ketir-ketir. Gadis ini mengaku sering takut sendiri ketika mendengar suara gemuruh dari arus sungai apalagi cuaca sedang buruk pada malam hari.
"Kadang-kadang kita enggak bisa tidur, kemarin waktu sahur, karena erosinya suaranya gede sekali," keluhnya.
"Sudah banyak rumah jadi korban, tidak ada tindakan dari pihak terkait, baik pusat maupun daerah. Contoh, kepala desa atau petuha gampong (struktur lembaga legislasi tingkat desa) gitu, buat musyawarah apa yang harus dilakukan sehingga tidak ada lagi korban selanjutnya," demikian pinta Nur.