Kenormalan Baru, Mengembalikan Gentong di Depan Rumah?

Daerah-daerah di Nusantara memiliki tradisi sehat dan bersih yang menghilang ditelan modernisasi dan pragmatisme. Kini tradisi itu dijadikan kenormalan baru?

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 12 Jun 2020, 12:25 WIB
Diterbitkan 12 Jun 2020, 03:30 WIB
normal baru
Selalu ada gentong atau padasan di depan rumah agar ketika masuk rumah tak membawa sawan. (foto: Liputan6.com/FB)

Liputan6.com, Semarang - Mari menyoal sesuatu yang disebut new normal. Ada yang menerjemahkan sebagai kenormalan baru, ada pula yang sederhana menyebut normal baru.

Dalam panduan kesehatan yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan secara resmi ketika memasuki kenormalan baru, salah satunya adalah kebiasaan mencuci tangan. Jauh sebelum ini, sebenarnya gerakan cuci tangan sudah berumur ratusan atau mungkin ribuan tahun.

Menurut ketua Lembaga Seni Budaya Jawa Tengah (Lesbumi Jateng), Lukni An Nairi, saat kecil ia sering jalan kaki menyusuri desa-desa dan melewati rumah-rumah.

“Dengan sangat mudah menemukan gentong kecil di depan atau di samping rumah penduduk yang saya lewati. Setidaknya berupa padasan yang umum. Entahlah mungkin asal katanya dari kata tempat menghilangkan hadas kecil,” kata Lukni, Kamis (11/06/2020).

Ketua LESBUMI Jateng Lukni Maulana, membacakan Perempuan Api dari buku RKK. (foto: Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Pada masa itu, keberadaan gentong kecil atau kendi di depan rumah orang-orang ini sangat berguna. Biasanya berfungsi untuk mencuci muka dan mencuci kaki sebelum masuk rumah bagi para tamu. Kebiasaan ini entah dimulai sejak kapan. Bisa jadi sejak masa pandemi 1919, bisa jadi sejak masa Mataram Islam, atau bahkan bisa jadi sudah menjadi tradisi sejak sebelum masa itu.

“Yang jelas dulu kan banyak petani. Jadi pulang dan masuk rumah kan enggak mungkin dalam kondisi kotor. Itu tak disebut normal baru saat itu,” kata Lukni.

Sementara itu, peneliti budaya dari Yayasan Cahaya Nusantara, Hangno Hartono, menyebut dalam semesta orang Jawa, kebiasaan mencuci tangan dan kaki itu bertujuan agar saat masuk ke rumah tidak membawa “sawan” . Istilah “sawan” Ini sendiri juga tidak terlalu jelas pengertiannya.

“Sawan adalah sesuatu dari semesta. Kadang tidak masuk akal, tetapi bisa pula karena akal dan pengetahuan kita yang belum sampai ke sana,” kata Hangno.

Menurut dia, masyarakat memiliki budaya kebersihan sejak dahulu kala. Sebelum orang-orang Barat menemukan tissue sekali pakai yang kemudian menjadi sampah lingkungan itu. Tak ada perilaku normal yang benar-benar baru. Semua hanya siklus.

 

simak video pilihan berikut

Keseimbangan Semesta

normal baru
Meletakkan gentong untuk cuci tangan juga ada di masyarakat luar jawa. (foto : Liputan6.com)

Saat ini untuk menemukan gentong kecil berlubang atau padasan di rumah-rumah orang desa (apalagi di kota) sudah sangat sulit. Lukni menyoroti bahwa kebiasaan mencuci tangan bukanlah kebiasaan baru. Jadi menjadi lucu jika kebiasaan baru itu dianggap sebagai kenormalan baru.

“Di masyarakat Samin atau sedulur sikep, upaya menolak pembangunan pabrik semen sebenarnya adalah upaya menjaga keseimbangan alam. Dan pandemi sangat terkait dengan keseimbangan tersebut,” katanya.

Dari penjelasan Lukni tersebutkita bisa merunut, 21 April 2020, masyarakat Samin menyampaikan sikap yang menekankan perlunya tindak perusakan alam dihentikan. Seharusnya, proses pembangunan pabrik semen di dekat desa mereka dihentikan. Wabah ini datang, menurut sedulur sikep merupakan bagian dari proses menata kembali alam semesta.

Masyarakat sedulur sikep percaya bumi memberikan kehidupan. Menjadi tugas manusia menjaga kelestariannya dan menjaga kehidupan untuk masa depan.

Sementara itu penggunaan hand sanitizer sebagai salah satu pranata kenormalan baru juga dianggap sebagai tradisi kuno. Jauh sebelum pandemi covid-19, masyarakat Nusantara sudah memiliki jerami bakar yang digunakan untuk hand sanitizer.

Hangno Hartono, peneliti budaya Jawa dari Yayasan Cahaya Nusantara Yogyakarta menggunakan pola ziarah untuk memahami peradaban lama (foto: Liputan6.com / edhie prayitno ige)

Hangno Hartono menyebut bahwa tentu saja ada pengetahuan lain yang juga berfungsi sebagai obat, sekaligus juga menciptakan keseimbangan alam. Dalam tradisi Bali ada dua upaya melawan pandemi, yakni sekala dan niskala.

“Sekala adalah sesuatu yang tampak dan dikerjakan. Niskala adalah merawat sesuatu yang tidak tampak. Karena hakekatnya semesta ini dihuni bukan hanya manusia, namun juga makhluk lain,” katanya.

Diberikan contoh bahwa mencuci tangan, mengenakan penutup mulut, menjaga jarak adalah upaya yang terlihat menyesuaikan kemampuan pengetahuan adalah tindakan sekala. Namun, langkah ritual dan langkah lain yang bersifat spiritual adalah niskala.

Menurut Hangno, ada konsep community-based natural resource management di sejumlah negara Afrika. Program ini antara lain berupa upaya menjaga kesehatan masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang ada di sekitarnya. Terbukti, konsep tersebut berhasil menciptakan masyarakat adat yang lebih sehat.

“Dalam situasi wabah, di mana promosi kesehatan menjadi sesuatu yang penting, kekayaan adat ini harus digali kembali jika memang memberikan hasil positif,” katanya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya